Dampak Ekspansi AI, Gen Z Mulai Prioritaskan Keahlian Teknis untuk Masa Depan

Wildan Nur Alif Kurniawan . December 18, 2025

Foto: Safety Mart Indonesia

Teknologi.id – Selama satu dekade terakhir, narasi kesuksesan bagi anak muda selalu identik dengan laptop, dan pekerjaan di perusahaan rintisan (startup) teknologi. Namun, angin perubahan mulai bertiup kencang di kalangan Generasi Z.

Bayang-bayang Kecerdasan Buatan (AI) yang semakin pintar mengambil alih tugas-tugas administratif dan kreatif membuat anak-anak muda ini berpikir ulang. Daripada berebut kursi di kantor yang posisinya terancam otomatisasi, mereka kini justru melirik profesi "kuno" yang selama ini dipandang sebelah mata: pekerjaan tangan.

Berdasarkan laporan CNBC Indonesia, Rabu (17/12/2025), tren ini terlihat nyata di Amerika Serikat. "Keahlian di bidang pertukangan hingga pengelasan kini masuk di sejumlah sekolah di Amerika Serikat. Ini karena pekerja kantoran dinilai bakal jadi 'korban' perkembangan Artificial Intelligence (AI) yang begitu masif."

Selamat Tinggal Kubikel, Halo Bengkel

Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan sebuah respons rasional terhadap ketidakpastian pasar kerja. Gen Z, yang tumbuh sebagai digital native, menyadari bahwa algoritma AI mungkin bisa menulis kode atau membuat artikel, tetapi AI belum bisa membetulkan pipa bocor atau mengelas kerangka gedung pencakar langit.

Lembaga pendidikan di AS pun bergerak cepat menangkap sinyal ini. Mereka tidak lagi hanya berlomba-lomba mencetak sarjana sains komputer, tetapi mulai berinvestasi gila-gilaan di pendidikan vokasi.

Salah satu contoh paling mencolok terjadi di SMA Middleton. "SMA Middleton jadi salah satu yang mulai menerapkan pengajaran untuk profesi tersebut. Tak tanggung-tanggung, US$90 juta dikeluarkan oleh pihak sekolah untuk memperbarui laboratorium manufakturnya."

Nilai investasi sebesar itu (sekitar Rp 1,4 triliun) menunjukkan keseriusan pihak sekolah. Mereka sadar bahwa untuk menarik minat siswa modern, fasilitas bengkel tidak boleh terlihat kotor atau ketinggalan zaman.

Baca juga: Bapak AI Geoffrey Hinton: Semua Pekerjaan Manusia Dapat Digantikan oleh AI

Bukan Sekadar "Kerja Kasar" Biasa

Salah satu alasan mengapa Gen Z mulai tertarik adalah karena definisi "pekerjaan kasar" (blue collar) itu sendiri telah berevolusi. Bengkel modern kini lebih mirip laboratorium canggih daripada tempat yang penuh oli dan debu.

Pihak sekolah di AS mengubah kurikulum agar relevan dengan era digital. "Namun pengajarannya agak berbeda dengan kemampuan di masa lalu. Profesi itu akan memanfaatkan perkembangan zaman dengan mesin berteknologi tinggi."

Di SMA Middleton, siswa tidak hanya memegang palu atau obeng manual. Mereka belajar mengendalikan mesin-mesin futuristik. "Akhirnya mereka memiliki lengan robot dengan pengendali yang berasal dari komputer. Cara kerja robot dapat langsung disaksikan di balik jendela kaca besar."

Integrasi antara keterampilan tangan manusia dan presisi robotika ini menciptakan jenis pekerjaan hybrid baru. Siswa diajarkan mata pelajaran klasik tahun 1990-2000an seperti "konstruksi, manufaktur, dan pertukangan kayu," namun dengan sentuhan teknologi abad ke-21.

Foto: ilustrasi lengan robot (Future Skills)

Gaji yang Menggiurkan: Rp 800 Ribu Per Jam!

Tentu saja, idealisme saja tidak cukup. Faktor ekonomi menjadi pendorong utama migrasi karir ini. Stigma bahwa pekerjaan tangan bergaji rendah mulai runtuh seketika saat melihat slip gaji para pekerja terampil ini.

Untuk menarik minat siswa, para pengajar transparan mengenai potensi penghasilan. "Guru bahasa Inggris dan instruktur pengelasan, Quincy Millerjohn mengatakan upah pekerja di pabrik baja berkisar US$41 ribu hingga US$52 ribu per jam (Rp 670 ribu hingga Rp 849 ribu)."

(Catatan: Terdapat kemungkinan kesalahan penulisan "ribu" pada angka Dolar di sumber asli, namun angka konversi Rupiah Rp 670.000 - Rp 849.000 per jam adalah angka yang masuk akal untuk upah buruh terampil berserikat di AS, yang setara dengan US$41 - US$52 per jam).

Bayangkan, seorang lulusan SMK atau vokasi bisa mengantongi hampir satu juta rupiah hanya dalam satu jam kerja. Angka ini sering kali melampaui gaji awal lulusan universitas yang bekerja sebagai staf administrasi (entry level) di kota-kota besar.

Baca juga: Riset Terbaru: Alih-alih Meringankan, AI Justru Tambah Jam Kerja Karyawan

Pergeseran Paradigma

Strategi sekolah-sekolah ini terbukti berhasil. Kelas-kelas vokasi yang dulunya sepi peminat, kini diserbu siswa. "Ternyata hasilnya cukup efektif. Kelas tersebut diikuti 2.300 siswa dalam beberapa tahun terakhir."

John Mihm, seorang konsultan pendidikan pemerintah bagian Wisconsin, menyoroti bahwa ketakutan terhadap AI adalah katalis utama fenomena ini. Siswa mencari keamanan kerja (job security) yang tidak bisa ditawarkan oleh pekerjaan kantoran saat ini.

"'Ada pergeseran paradigma. [Pekerjaan tangan] kini adalah pekerjaan dengan keahlian tinggi dan gaji tinggi sehingga menarik buat banyak orang, karena mereka langsung melakukan segalanya sendiri,' kata Mihm."

Mihm menegaskan bahwa kemampuan untuk memperbaiki, membangun, dan menciptakan sesuatu dengan tangan fisik adalah aset yang semakin langka dan mahal di dunia yang serba virtual. Saat semua orang sibuk di dunia maya, mereka yang menguasai dunia nyata justru menjadi raja.

Apa yang terjadi di AS ini bisa menjadi cermin bagi negara lain, termasuk Indonesia. Di saat banyak sarjana kesulitan mencari kerja karena skill mereka tidak sesuai kebutuhan industri atau tergantikan teknologi, kembali ke "akar" pekerjaan fisik mungkin adalah solusi cerdas.

Baca Berita dan Artikel lainnya di Google News.

(WN/ZA)

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar