Artificial General Intelligence: Ancaman, Peluang, atau Lawan Baru Manusia?

⁠Adimas Herviana . December 15, 2025

Foto: BuildIn

Teknologi.id - Kemajuan teknologi kecerdasan buatan telah membawa kita pada fase baru ketika kemampuan komputasional tidak lagi sekadar menjalankan perintah, tetapi mulai menunjukkan kapasitas kognitif yang semakin kompleks. Sistem-sistem cerdas kini mampu mengintegrasikan informasi dari berbagai sumber, menafsirkan situasi secara adaptif, serta menghasilkan keputusan yang mempertimbangkan konteks dan tujuan. Artificial General Intelligence (AGI) muncul sebagai representasi dari transformasi tersebut sebuah bentuk kecerdasan yang dirancang untuk beroperasi secara fleksibel, lintas domain, dan tidak terbatas pada satu jenis tugas tertentu.

Perkembangan menuju AGI menandai perubahan paradigma dalam relasi manusia dan teknologi. Mesin tidak lagi diposisikan hanya sebagai alat bantu mekanis, melainkan sebagai entitas komputasional yang berpotensi menjadi mitra intelektual dalam proses berpikir, analisis, dan pemecahan masalah. Dengan kemampuan untuk mempelajari pola baru secara mandiri, AGI membuka peluang bagi percepatan inovasi di berbagai sektor, mulai dari penelitian ilmiah, kesehatan, hingga tata kelola organisasi modern.

Kemunculan AGI juga menimbulkan pertanyaan mengenai batas kendali, akuntabilitas, dan implikasi etis dari sistem yang memiliki kapasitas belajar yang terus berkembang. Ketika mesin mulai menunjukkan kemampuan yang mendekati atau bahkan melampaui kecerdasan manusia, masyarakat global dihadapkan pada kebutuhan untuk meninjau kembali kerangka regulasi, standar keamanan, serta nilai-nilai yang selama ini menjadi landasan pengambilan keputusan.

Lahirnya Ambisi Kecerdasan Buatan

Gagasan tentang mesin yang mampu berpikir bermula dari pemikiran Alan Turing pada 1950-an. Melalui imitation game, Turing menantang dunia dengan pertanyaan sederhana namun revolusioner "Dapatkah mesin berpikir seperti manusia?" . Pertanyaan inilah yang kemudian melahirkan disiplin ilmu kecerdasan buatan, diperkuat oleh John McCarthy pada Konferensi Dartmouth tahun 1956. Sejak saat itu, AI berkembang dari sekadar eksperimen laboratorium menjadi fondasi teknologi moderen.

Algoritma AI Diam - Diam Mengubah Dunia

Pada awal 2000-an, AI bekerja di balik layar perusahaan besar seperti Google dan Amazon. Mesin belajar mengenali pola, memprediksi perilaku, dan memberikan rekomendasi yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital. Memasuki 2010-an, teknologi pengenalan gambar, suara, dan bahasa berkembang pesat, melahirkan Siri, Alexa, Google Photos, dan berbagai layanan cerdas lainnya. Namun, puncak perkembangan AI terjadi pada 2020 dengan hadirnya GPT-3, yang membuka jendela baru model bahasa berskala besar.

Kemajuan ini terus berkembang hingga menjadi Artificial General Intelligence (AGI) Jika AI konvensional dirancang untuk menyelesaikan tugas tertentu, maka AGI diproyeksikan mampu memahami berbagai konteks, belajar secara mandiri, dan menerapkan pengetahuan lintas domain.

Baca Juga: Teknologi Terbaru Brain Body LLM, Robotik yang Mampu Berfikir, Belajar dan Memahami Secara Real-Time

Siapa yang Akan Menjadi Penguasa AGI?

Perusahaan teknologi raksasa tengah berlomba menciptakan sistem yang mampu menandingi kecerdasan manusia. OpenAI dan Microsoft memimpin dengan model GPT-4 dan Copilot. Google memperkuat posisinya melalui keluarga Gemini. Meta menghadirkan Llama dan Meta AI, sementara Amazon mengembangkan layanan generatif berbasis cloud. Perlombaan ini bukan sekadar kompetisi teknologi, tetapi perebutan posisi strategis dalam ekonomi masa depan.

Ambisi Membangun Kecerdasan Setara Manusia

Foto: eWeek

AGI didefinisikan sebagai sistem yang mampu memahami, belajar, dan menyelesaikan berbagai tugas kognitif pada tingkat manusia. Meski model saat ini menunjukkan kemampuan luar biasa, para ahli menilai bahwa AGI masih berada di tahap awal. Sistem belum memiliki otonomi penuh, pemahaman dunia fisik, atau kemampuan perencanaan jangka panjang yang stabil. Namun, ambisi perusahaan seperti OpenAI, Google DeepMind, Anthropic, dan xAI menunjukkan bahwa AGI bukan lagi sekadar mimpi ilmiah. 

Ketika Manusia Justru Menjadi Penghalang AGI

Pandangan menarik datang dari Alexander Embiricos, pemimpin pengembangan Codex di OpenAI. Menurutnya, hambatan terbesar menuju AGI bukanlah teknologi, melainkan manusia. Kecepatan mengetik dan kemampuan multitasking manusia dianggap terlalu lambat untuk mengikuti ritme kerja agen AI. Selama manusia masih harus menulis prompt dan memvalidasi hasil kerja AI, produktivitas tidak akan mencapai potensi maksimal. Embiricos memprediksi bahwa ketika agen AI dapat bekerja secara otomatis tanpa intervensi manusia, pertumbuhan produktivitas akan melonjak drastis fenomena yang ia sebut hockey stick growth.

Baca Juga: Robotik Optimus Buatan Elon Musk, Dorong Perkembangan Dunia Tanpa Uang!

Apa yang Terjadi Setelah Mesin Melampaui Kita? 

Jika AGI mampu memiliki kecerdasan setara manusia, maka superintelligence adalah lompatan yang jauh melampaui batas tersebut. Menurut berbagai analisis, begitu AGI tercapai, percepatan kemampuan AI dapat berlangsung sangat cepat, menciptakan kecerdasan yang tidak hanya memahami dunia, tetapi mampu mengubahnya. Pertanyaannya bukan lagi apakah superintelligence akan hadir, tetapi bagaimana manusia akan menghadapinya. 

Apakah Kita Siap Menyambut Masa Depan yang Dibentuk AGI?

Perjalanan panjang dari ide Turing hingga ambisi superintelligence menunjukkan bahwa perkembangan AI bergerak jauh lebih cepat daripada kesiapan manusia. AGI bukan sekadar teknologi, itu adalah titik balik peradaban. Dunia kini dihadapkan pada pertanyaan besar: “Apakah kita siap hidup berdampingan dengan kecerdasan yang mungkin melampaui kita?”


Baca Berita dan Artikel lainnya di Google News


(dim/sa)



author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar