
Teknologi.id - Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini menandatangani aturan baru yang bisa mengguncang dunia teknologi AS. Peraturan ini mewajibkan perusahaan membayar hingga 100.000 dollar AS (sekitar Rp 1,66 miliar) per tahun untuk setiap visa kerja H-1B. Kebijakan ini menjadi langkah paling drastis pemerintahannya untuk membatasi imigrasi legal, khususnya bagi pekerja terampil di sektor teknologi dan sains.
Apa Itu Visa H-1B?
Visa H-1B adalah program populer yang memungkinkan perusahaan AS merekrut tenaga kerja asing terampil, terutama di bidang teknologi, sains, teknik, matematika, hingga kedokteran. Setiap tahun, pemerintah AS hanya mengeluarkan 65.000 visa baru, dengan tambahan 20.000 untuk lulusan pascasarjana universitas AS. Visa biasanya berlaku tiga tahun dan bisa diperpanjang, bahkan menjadi jalur menuju green card. Sebelumnya, biaya H-1B hanya 215 dollar AS (sekitar Rp 3,56 juta) melalui sistem undian atau lotere.
Baca juga: Biaya Visa H-1B AS Naik Jadi Rp 1,6 Miliar, Pekerja India Paling Terdampak
Dampak Langsung pada Perusahaan Teknologi
Langkah Trump langsung memicu kekhawatiran di kalangan raksasa teknologi seperti Amazon, Google, Microsoft, dan JPMorgan. Beberapa perusahaan meminta karyawan pemegang visa H-1B menunda perjalanan internasional dan tetap berada di AS hingga aturan jelas. Kebijakan ini dinilai dapat membebani perusahaan dengan biaya jutaan dollar per tahun, berpotensi membuat mereka memindahkan pekerjaan bernilai tinggi ke luar negeri, termasuk bidang strategis seperti kecerdasan buatan.
Alasan Pemerintah dan Kritik dari Pakar
Pemerintah AS menyebut aturan ini bertujuan menghentikan penyalahgunaan program H-1B yang dianggap merugikan pekerja lokal. Data menunjukkan jumlah pekerja IT dengan visa H-1B melonjak, sementara angka pengangguran lulusan ilmu komputer di AS juga meningkat. Trump menuding perusahaan teknologi memanfaatkan program ini untuk menggaji pekerja asing lebih rendah, sekaligus memangkas pekerjaan warga lokal.
Namun, kritik menyebut biaya tinggi justru bisa menurunkan daya tarik AS bagi talenta terbaik dunia. Venture capitalist Deedy Das menegaskan, “Jika AS berhenti menarik talenta terbaik, kemampuan inovasi dan pertumbuhan ekonominya akan turun drastis.”
Kisah Talenta Internasional yang Terpengaruh
Elon Musk, yang pernah menggunakan visa H-1B, menekankan pentingnya program ini bagi kesuksesan SpaceX, Tesla, dan banyak perusahaan lain di AS. Begitu pula Mike Krieger, co-founder Instagram, yang sempat kesulitan dengan proses visa H-1B sebelum mendirikan startup ikonik tersebut. National Venture Capital Association (NVCA) juga menyoroti bahwa pembatasan H-1B bisa menghambat lahirnya perusahaan rintisan baru, terutama yang didirikan oleh imigran.
Baca juga: Visa Pelajar AS Wajib Sertakan Medsos Aktif, Tak Boleh Dikunci!
Dampak Global dan “Gold Card” Trump
Peraturan ini akan berdampak signifikan bagi India dan China, dua negara dengan pemegang visa H-1B terbanyak. Tahun lalu, India menyumbang 71% pemegang visa H-1B, sementara China berada di urutan kedua dengan 11,7%. Trump juga menambahkan opsi “gold card”, izin tinggal permanen dengan biaya 1 juta dollar AS (sekitar Rp 16,59 miliar), yang dianggap menguntungkan kalangan super kaya.
Meski dalam jangka pendek kebijakan ini bisa menambah penerimaan negara, para pengamat memperingatkan AS berisiko kehilangan keunggulan inovasi demi kepentingan politik jangka pendek. Banyak ahli menilai langkah ini bisa melemahkan posisi AS dalam persaingan global, terutama di sektor teknologi dan startup.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(dwk)