
Foto: Securityweek
Teknologi.id – Misteri di balik kebangkitan mendadak DeepSeek, perusahaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) asal China yang baru-baru ini mengguncang Silicon Valley, mulai terkuak. Di tengah ketatnya sanksi ekspor teknologi yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS), banyak pihak bertanya-tanya: Bagaimana mungkin sebuah startup China bisa melatih model AI sekelas dunia tanpa akses resmi ke perangkat keras tercanggih?
Jawabannya ternyata melibatkan operasi klandestin yang rumit, "pusat data hantu", dan jalur penyelundupan yang melintasi negara-negara tetangga Indonesia. Sebuah laporan investigasi mengejutkan mengungkapkan bahwa DeepSeek diduga kuat menggunakan ribuan chip Nvidia canggih yang diselundupkan melalui Singapura dan Malaysia, mengakali blokade teknologi Washington dengan cara yang licin dan terorganisir.
Modus Operandi: Pusat Data Palsu di Negeri Tetangga
Laporan yang pertama kali diangkat oleh The Information dan dikutip oleh Kompas Tekno ini memaparkan taktik "Kuda Troya" yang digunakan oleh perantara DeepSeek. Karena AS melarang penjualan langsung chip AI berkinerja tinggi (seperti Nvidia H100 atau seri Blackwell terbaru) ke China, para perantara ini tidak mengirim barang langsung ke Beijing atau Shanghai.
Sebaliknya, mereka mendirikan pusat data palsu (fake data centers) atau perusahaan cangkang di negara-negara yang tidak terkena sanksi ketat, khususnya Singapura dan Malaysia. Secara administratif, pembelian chip tersebut terlihat legal. Perusahaan "lokal" di Asia Tenggara memesan server AI untuk kebutuhan riset atau bisnis lokal.
Namun, begitu server-server mahal tersebut tiba dan lolos dari pemeriksaan bea cukai setempat, fungsi aslinya sebagai pusat data tidak pernah dijalankan. Dalam hitungan hari atau minggu, server-server tersebut dibongkar (dismantled). Komponen paling berharga di dalamnya, yakni unit pemroses grafis (GPU) buatan Nvidia, dicopot satu per satu.
Baca juga: DeepSeek V3.2 Speciale, Model AI China yang Lampaui Gemini 3.0 Pro
Koper, Kargo Kecil, dan Pasar Gelap
Setelah dicopot dari rak server, chip-chip seharga puluhan ribu dolar per unit tersebut memulai perjalanan klandestin mereka menuju China. Laporan menyebutkan bahwa ribuan GPU ini diselundupkan dalam partai kecil untuk menghindari deteksi.
Metodenya beragam, mulai dari penggunaan jasa kurir perorangan yang membawa komponen di dalam koper bagasi pesawat, hingga pengiriman kargo komersial yang disamarkan sebagai barang elektronik umum. Jalur perdagangan bebas dan tingginya volume logistik di Asia Tenggara dimanfaatkan sebagai celah yang sempurna.
Sesampainya di China, komponen-komponen selundupan ini dirakit kembali menjadi kluster supercomputer raksasa. Inilah "dapur pacu" rahasia yang memungkinkan DeepSeek melatih model bahasa besar (Large Language Model/LLM) mereka, DeepSeek-V3, yang kinerjanya diklaim setara dengan GPT-4 milik OpenAI namun dengan biaya latihan yang jauh lebih murah.

Foto: Reuters
Skala Operasi: Puluhan Ribu Unit H100
Dugaan skala penyelundupan ini sangat masif. Beberapa sumber industri memperkirakan DeepSeek berhasil mengumpulkan hingga 50.000 unit prosesor Nvidia H100 melalui berbagai jalur pasar gelap (black market).
Sebagai konteks, satu unit Nvidia H100 di pasar legal dibanderol sekitar USD 25.000 hingga USD 30.000. Di pasar gelap China, harganya bisa melonjak dua hingga tiga kali lipat. Fakta bahwa DeepSeek mampu mendanai operasi ini menunjukkan betapa vitalnya chip tersebut bagi ambisi AI nasional China.
Keberadaan 50.000 chip ini menjawab keraguan para analis Barat. Sebelumnya, banyak yang skeptis bagaimana China bisa terus berinovasi di bidang AI tanpa perangkat keras terbaru. Ternyata, tembok sanksi AS tidak sepenuhnya kedap air; ia bocor di wilayah Asia Tenggara.
Nvidia Membantah, AS Geram
Menanggapi laporan panas ini, Nvidia segera mengeluarkan bantahan. Raksasa teknologi yang dipimpin Jensen Huang tersebut menyatakan bahwa klaim DeepSeek menggunakan puluhan ribu chip selundupan adalah "mengada-ada". Nvidia menegaskan komitmennya untuk mematuhi seluruh regulasi ekspor AS dan berjanji akan menyelidiki setiap indikasi penyalahgunaan rantai pasok.
Namun, bagi pemerintah AS, laporan ini adalah tamparan keras. Departemen Perdagangan AS di bawah administrasi Biden telah berupaya keras memutus akses China terhadap teknologi AI canggih karena kekhawatiran akan penggunaannya untuk militer dan spionase.
Terbongkarnya jalur Singapura-Malaysia ini berpotensi memicu konsekuensi diplomatik dan ekonomi baru. AS diprediksi akan memperketat pengawasan ekspor ke negara-negara Asia Tenggara. Perusahaan-perusahaan teknologi di kawasan ASEAN mungkin akan menghadapi prosedur kepatuhan (compliance) yang jauh lebih rumit dan ketat di masa depan, karena AS tidak ingin wilayah ini menjadi "pintu belakang" bagi China.
Baca juga: Nvidia Boleh Ekspor Chip AI ke China, Trump Ambil Risiko Besar atau Strategi Cerdas?
Implikasi bagi Industri AI Global
Kasus DeepSeek ini membuktikan satu hal: dalam perang teknologi, di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Sanksi ekonomi mungkin memperlambat, tetapi tidak serta-merta menghentikan aliran teknologi, terutama ketika permintaan pasar begitu tinggi dan keuntungan finansial dari penyelundupan begitu menggiurkan.
Bagi Indonesia dan negara ASEAN lainnya, isu ini menjadi peringatan untuk lebih waspada terhadap arus barang teknologi tinggi yang melintasi perbatasan. Posisi strategis sebagai hub logistik global kini membawa risiko terseret ke dalam pusaran konflik geopolitik antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia. Sementara itu, di laboratorium rahasia di China, mesin-mesin selundupan itu terus bekerja siang malam, melatih kecerdasan buatan yang siap menantang dominasi Barat.
Baca berita dan artikel lainnya di Google News
(WN/ZA)