
Foto: Reuters
Teknologi.id – Apa yang terjadi di lembah Pegunungan Alpen, Swiss, baru-baru ini adalah sebuah paradoks yang mencengangkan dunia. Di satu sisi, sebuah bencana alam dahsyat benar-benar terjadi sesuai skenario terburuk: sebuah desa pegunungan yang indah hancur total, lenyap terkubur di bawah ribuan ton es, batu, dan lumpur dalam sekejap mata. Namun, di sisi lain, peristiwa ini dirayakan sebagai kemenangan terbesar umat manusia melawan kekuatan alam.
Desa Blatten, yang terletak di kanton Valais, Swiss bagian selatan, kini tinggal nama. Pada akhir Mei 2025, runtuhan masif dari Gletser Birch menerjang wilayah tersebut, meratakan rumah, kandang ternak, dan infrastruktur sejarah yang telah berdiri ratusan tahun. Namun, di tengah kehancuran fisik yang total tersebut, nyaris tidak ada korban jiwa yang jatuh dari kalangan penduduk. Sebanyak 300 warga desa, beserta hewan ternak mereka, berhasil lolos dari maut berkat satu hal: kepercayaan penuh pada peringatan dini sains.
Detik-Detik "Kiamat Kecil" di Valais
Bencana itu datang dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga, menyerupai ledakan bom. Jutaan meter kubik material—campuran es glasial yang keras, batuan granit, dan tanah—meluncur deras dari lereng gunung, menyapu dasar lembah dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
Christophe Lambiel, seorang spesialis geologi pegunungan tinggi dan gletser dari Lausanne University, menggambarkan kejadian tersebut kepada stasiun TV Swiss RTS sebagai "skenario terburuk yang menimbulkan bencana." Awan debu raksasa membubung tinggi, menyelimuti pegunungan dan lembah, menciptakan pemandangan yang mencekam mirip dampak ledakan nuklir.
Citra satelit dan rekaman drone pascabencana memperlihatkan pemandangan yang memilukan: area yang dulunya adalah permukiman asri kini berubah menjadi hamparan puing kelabu setebal puluhan meter yang memanjang hingga 1,6 kilometer. Sungai Lonza, nadi kehidupan lembah tersebut, terbendung oleh material longsor, menciptakan danau baru yang kini menjadi ancaman sekunder bagi wilayah di hilirnya.
Baca juga: Misteri Sungai Hilang di Tanah Datar: Ahli Ungkap Peran Sinkhole dan Karst

Foto: Associated Press
Kunci Keselamatan: Evakuasi Sebelum Bencana
Bagaimana mungkin sebuah desa bisa lenyap tanpa menelan korban massal penduduknya? Jawabannya terletak pada sistem mitigasi bencana Swiss yang sangat disiplin dan canggih.
Jauh sebelum gletser itu runtuh, para ahli geologi dan glasiologi Swiss telah memantau pergerakan Gletser Birch dengan teknologi radar dan laser presisi tinggi. Mereka mendeteksi adanya percepatan pergerakan es dan peningkatan frekuensi longsoran batu kecil dari lereng gunung. Data ini diterjemahkan sebagai "lampu merah": struktur gletser sedang menuju titik jenuh dan keruntuhan total tak terelakkan.
Merespons data ini, otoritas lokal tidak membuang waktu. Pada tanggal 19 Mei 2025—lebih dari sepekan sebelum puncak bencana terjadi—perintah evakuasi total dikeluarkan.
Proses evakuasi dilakukan dengan presisi militer. Tidak hanya manusia, pemerintah Swiss juga memikirkan aset berharga warga. Helikopter dikerahkan untuk mengangkut sapi, domba, dan kambing yang sedang merumput di lereng-lereng bukit ke tempat aman. Jalan akses menuju desa ditutup total, dan sistem keamanan dipasang untuk memastikan tidak ada turis atau warga yang nekat kembali ke zona merah.
Ketika gletser akhirnya runtuh, desa itu sudah menjadi kota hantu. Keputusan tegas untuk mengevakuasi seluruh populasi terbukti menjadi pembeda antara tragedi kemanusiaan dan kerugian materi semata.
Sinyal Bahaya dari Perubahan Iklim
Peristiwa di Blatten bukan sekadar bencana lokal, melainkan peringatan keras mengenai dampak nyata perubahan iklim global. Pegunungan Alpen di Eropa memanas dua kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global.
Kenaikan suhu menyebabkan permafrost—lapisan tanah dan batuan yang membeku secara permanen dan berfungsi sebagai "lem" perekat gunung—mencair. Ketika permafrost meleleh, lereng gunung kehilangan stabilitasnya. Batuan menjadi rapuh, dan gletser yang menyusut kehilangan pijakannya, menyebabkan mereka rentan runtuh (kolaps) dalam volume masif.
"Para ilmuwan tahu sesuatu akan terjadi, berkat semakin seringnya terjadi longsoran batu dari lereng gunung ke gletser," ujar Lambiel. Fenomena ini diperkirakan akan semakin sering terjadi di wilayah pegunungan seluruh dunia, dari Alpen hingga Himalaya.
Baca juga: Hutan Indonesia Kian Hilang, Bencana Alam Mengintai Tanpa Ampun
Pelajaran Mahal untuk Dunia
Kehancuran Desa Blatten meninggalkan duka mendalam bagi warganya yang kehilangan tempat tinggal dan kenangan leluhur. Namun, di balik puing-puing tersebut, tersimpan pelajaran berharga tentang pentingnya integrasi antara sains, kebijakan publik, dan kepatuhan masyarakat.
Pemerintah Swiss menunjukkan bahwa investasi dalam teknologi pemantauan bencana dan keberanian mengambil keputusan tidak populer (seperti evakuasi paksa) adalah investasi nyawa. Warga Blatten kini menjadi pengungsi iklim di negeri mereka sendiri, namun mereka hidup untuk menceritakan kisah tersebut.
Bagi negara rawan bencana lainnya, termasuk Indonesia, model mitigasi Swiss ini menjadi standar emas. Bahwa bencana alam mungkin tidak bisa dicegah, tetapi dampaknya terhadap nyawa manusia bisa diminimalisasi jika kita mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh alam melalui data para ilmuwan. Kini, tantangan selanjutnya bagi otoritas Swiss adalah menangani bendungan alami yang terbentuk di Sungai Lonza agar tidak jebol dan memicu banjir bandang susulan.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.