Foto: ZDNet
Teknologi.id – Dua perusahaan antivirus, NortonLifeLock (Norton)
dan Avast dilaporkan telah merger dalam sebuah kesepakatan bernilai USD 8
miliar atau sekitar Rp115 triliun.
Merger kedua perusahaan antivirus
ini terjadi setelah Norton mengakusisi seluruh saham Avast. Dengan bergabungnya
dua perusahaan, kini Norton jadi perusahaan antivirus berskala lebih besar.
Avast merupakan perusahaan antivirus yang didirikan di Republik Ceko dan telah membuat software untuk konsumen dan bisnis kecil selama 11 tahun. Avast mengakuisisi perusahaan antivirus AVG lima tahun lalu.
Baca juga: Windows 11 Palsu Disusupi Virus Banyak Beredar, ini Cirinya
Sedangkan, NortonLifeLock mulanya
adalah layanan konsumer milik Symantec yang tersisa setelah Broadcom
mengakuisisi bisnis keamanan Symantec dua tahun lalu.
Produk antivirus Norton sendiri
sudah ada dalam berbagai bentuk sejak 1991. Antivirus ini terus jadi pilihan
populer bagi konsumen selama 30 tahun terakhir.
Bergabungnya kedua perusahaan
akan memperkuat bisnis keamanan siber perusahaan. Pasalnya, serangan ransomware
tengah meningkat dengan kasus high profile terjadi hampir tiap minggu.
"Dengan kombinasi ini, kami
dapat meningkatkan platform keamanan siber publik dan membuatnya tersedia untuk
lebih dari 500 juta pengguna," kata CEO NortonLifeLock, Vincent Pillete,
Dikutip Liputan6 dari The Verge, Kamis (12/8/2021).
Baca juga: Awas! Ini Dia Virus Komputer Paling Berbahaya di Dunia
Pillete juga menambahkan, merger
ini membuat perusahaan memiliki kemampuan untuk mengakselerasi inovasi guna mentransformasikan
keamanan siber.
Merger keduanya ditengarai akan
mengarah pada produk antivirus yang mencakup manfaat dari fokus Avast pada
privasi dan pengalaman Norton dalam hal identitas, terutama ketika keamanan
siber menjadi hal krusial bagi konsumen dan bisnis.
Bergabungnya kedua perusahaan
akan memperkuat bisnis keamanan siber perusahaan. Pasalnya, serangan ransomware
tengah meningkat dengan kasus high profile terjadi hampir tiap minggu.
Serangan semacam ini dapat
menyebabkan masalah pada rantai pasokan perusahaan hingga insiden ransomware
atau malware yang mempengaruhi konsumen biasa.
Konsumen pun kerap jadi korban
ketika database kartu kredit atau informasi data privasi bocor.
(fpk)