
Teknologi.id - “IT kebanyakan seperti call center, baru dihubungi jika terjadi masalah atau gangguan,” ujar Jul Darmawan, Director of Partner Success Asia Sinergi, dalam forum GTIA ASEAN Community Meeting di Jakarta.
Pernyataan tersebut bukan sekadar kritik, melainkan cerminan realitas yang masih terjadi di banyak perusahaan Indonesia.
Di tengah gempuran transformasi digital, peran IT masih sering diposisikan sebagai pemadam kebakaran, bukan sebagai arsitek strategi bisnis.
Baca juga: Mengenal Skill Tech Savvy yang Bisa Buat Mahasiswa Lebih Menonjol
IT Masih Dipandang Sebagai Dukungan Teknis
Laporan Kontan menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan Indonesia belum menjadikan IT sebagai mitra bisnis.
Fungsinya masih berkutat pada pemeliharaan jaringan dan perangkat keras. Padahal, di era pasca-pandemi, teknologi bukan hanya alat bantu, melainkan fondasi operasional sekaligus penentu arah pengambilan keputusan.
Ketika tim IT hanya bergerak saat ada gangguan, potensi strategisnya hilang begitu saja.
Service Delivery Agreement (SDA) Masih Asing
Salah satu indikator ketidakmatangan fungsi IT adalah absennya Service Delivery Agreement (SDA) di banyak perusahaan.
SDA seharusnya menjadi kesepakatan formal yang mencakup standar layanan, cakupan, kualitas, dan tanggung jawab antara tim IT dengan unit bisnis.
Namun, menurut Jul Darmawan, masih banyak sistem integrasi di Indonesia yang berorientasi pada jual-beli perangkat, bukan pengelolaan layanan. Tanpa SDA, hubungan IT dan bisnis cenderung reaktif—baru bergerak saat terjadi masalah. Akibatnya, tidak ada perencanaan, monitoring, maupun evaluasi berkelanjutan.
Saatnya Fungsi IT Naik Kelas
Dalam ekosistem bisnis modern, IT seharusnya naik kelas: dari sekadar dukungan teknis menjadi mitra strategis perusahaan.
Jika IT dilibatkan sejak awal dalam perencanaan, perusahaan bisa:
-
Mengantisipasi risiko,
-
Mengoptimalkan proses bisnis,
-
Menciptakan efisiensi berkelanjutan.
Untuk mencapainya, dibutuhkan perubahan paradigma. Perusahaan harus melihat IT bukan sebagai biaya, tetapi sebagai investasi jangka panjang. Tim IT juga perlu diberi ruang untuk berinovasi, sementara manajemen wajib memiliki literasi digital agar keputusan bisnis berbasis data, bukan sekadar intuisi.
Peran Komunitas Teknologi sebagai Jembatan Pengetahuan
Di tengah kesenjangan ini, peran komunitas seperti Global Technology Industry Association (GTIA) menjadi penting. GTIA hadir sebagai wadah berbagi praktik terbaik, mempertemukan pelaku industri, serta membuka akses ke pengetahuan global.
Asia Sinergi, salah satu anggota GTIA Indonesia, menekankan bahwa kolaborasi ini membantu perusahaan memahami tata kelola IT yang lebih modern dan bernilai tambah. Melalui forum seperti GTIA ASEAN Community Meeting, perusahaan dapat belajar dari pengalaman lintas negara, memahami standar internasional, dan memperluas jejaring bisnis.
Baca juga: Benarkah HP Diam-diam Merekam Percakapan Kita? Ini Faktanya!
IT Harus Jadi Pilar, Bukan Sekadar Penyangga
Fakta bahwa fungsi IT di Indonesia masih tradisional bukan alasan untuk berhenti, melainkan titik awal perubahan.
Dalam bisnis global saat ini, mempertahankan pola lama bukan hanya tidak efisien, tetapi juga berisiko besar.
Bagi generasi produktif yang sedang bekerja atau membangun bisnis, memahami peran strategis IT adalah bekal penting untuk bertahan dan tumbuh. Sebab di dunia yang semakin digital, perusahaan yang tidak memanfaatkan teknologi secara menyeluruh akan tertinggal—bukan karena kurang perangkat, melainkan karena kurang arah.
(ipeps)