Teknologi.id - iPhone 16 Series telah diluncurkan secara global sejak 20 September 2024. Namun, hingga saat ini, produk terbaru Apple tersebut belum juga hadir di Indonesia.
Di balik absennya perangkat ini akibat tidak memenuhi persyaratan TKDN, tersimpan persoalan yang lebih besar terkait investasi Apple di tanah air.
Hingga saat ini, masih belum ada kepastian mengenai rencana raksasa teknologi asal Amerika Serikat tersebut untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah juga terlihat belum sepenuhnya menerima tawaran Apple, sementara pihak Apple sendiri tampak masih ragu untuk berkomitmen penuh.
Situasi ini memunculkan tanda tanya besar tentang mengenai apa yang sebenarnya menjadi hambatan utama di balik tarik-ulur ini.
Tarik-ulur Apple dengan Pemerintah RI
Teuku Riefky, seorang ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang membuat Apple kesulitan untuk merealisasikan investasinya di Indonesia.
Salah satu faktor utama yang disebutkan adalah rendahnya kepastian hukum di Indonesia dibandingkan dengan rata-rata negara lain di dunia.
Menurut Teuku Riefky, lemahnya kepastian hukum ini membuat Apple enggan mengambil risiko besar untuk menanamkan modalnya di tanah air.
Baca juga: Indonesia Minta Apple Investasi Rp 15,9 Triliun jika Mau Jual iPhone 16
Berdasarkan data dari World Bank, Indonesia hanya memperoleh Indeks Supremasi Hukum sebesar 42,31. Angka ini masih berada di bawah rata-rata yang dicapai oleh negara-negara di Eropa dan Asia Tengah, Amerika Latin, serta Timur Tengah dan Afrika Utara.
Seperti yang dikutip dari Okezone, Teuku Riefky dalam diskusi Selular Business Forum pada Kamis (5/12) menyatakan, "Kepastian hukum di Indonesia itu masih tertinggal dari rata-rata bahkan negara Timur Tengah, Afrika Utara, rata-rata negara Asia Timur, bahkan rata-rata negara Latin Amerika."
Indeks Supremasi Hukum berfungsi untuk mengukur sejauh mana masyarakat suatu negara mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku. Hal ini termasuk efektivitas penegakan kontrak, perlindungan hak milik, dan kinerja lembaga penegak hukum, seperti polisi dan kejaksaan, dalam mengatasi potensi kriminalitas.
"Jadi, kalau investasi tapi perizinannya tidak kunjung keluar, regulasi perdagangannya itu berubah cukup sering, dan kepastian hukumnya tidak ada, itu akan membuat investor jadi mempertanyakan untuk melakukan investasi di suatu negara," imbuhnya.
Riefky memberi contoh perubahan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terkait impor yang terjadi beberapa kali hanya dalam kurun waktu tiga bulan di awal tahun.
"Itu ada yang pernah hitung, itu regulasi yang paling cepat dan sering berubah di dunia sepanjang sejarah. Bayangkan kalau Apple melakukan investasi di sini, mereka tidak tahu apakah bulan depan masih bisa mengimpor bahan baku yang dibutuhkan atau tidak," ujarnya.
Riefky juga mengungkapkan faktor lainnya, yaitu terkait dengan proses administrasi di Indonesia yang sering kali memakan waktu lebih lama. Ia membandingkan Indonesia dengan negara tetangga yang saat ini lebih dilirik Apple, yaitu Vietnam.
Masih mengacu pada data dari World Bank, Riefky menjelaskan bahwa persyaratan untuk memulai usaha di Indonesia membutuhkan 11 dokumen. Sementara itu, di Vietnam hanya membutuhkan 8 dokumen.
Ia juga menambahkan bahwa jumlah dokumen perpajakan di Indonesia mencapai 26, sementara di Vietnam hanya 6.
Belum lagi, proses untuk melengkapi dokumen ekspor impor di Indonesia bisa memakan waktu berhari-hari, sedangkan di Vietnam hanya membutuhkan beberapa jam.
Selain kedua faktor tersebut, Riefky juga menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa Apple belum berinvestasi di Indonesia adalah karena produktivitas dan kemampuan tenaga kerja Indonesia yang masih dianggap kurang memadai.
Produktivitas Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara, seperti Vietnam, India, Turki, China, dan Saudi Arabia.
Baca juga: Sindir Apple, Kemenperin Bagikan Nilai Investasi Samsung & Xiaomi di RI
Tak hanya itu, kemampuan tenaga kerja Indonesia juga kalah bersaing dengan tenaga kerja di China, Vietnam, India, serta Saudi Arabia dan Turki.
"Mungkin 20 tahun lalu, kualitas SDM Indonesia lebih unggul dari Vietnam, tetapi sekarang dan beberapa tahun ke depan akan berbalik," katanya.
Dengan berbagai faktor di atas, Riefky mengungkapkan bahwa Indonesia akan kesulitan untuk meyakinkan Apple agar berinvestasi di dalam negeri.
Hal ini disebabkan Apple memiliki pertimbangan yang sangat matang dalam setiap keputusan yang diambil untuk keberlangsungan bisnisnya.
Baca berita dan artikel yang lain di Google News.
(aia)