Teknologi.id - Belakangan ini, dunia digital dibanjiri oleh ilustrasi bergaya Studio Ghibli yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI). Dengan hanya memasukkan deskripsi singkat ke dalam generator AI seperti Midjourney atau DALL·E, siapa pun kini bisa menciptakan gambar yang menyerupai estetika khas studio animasi legendaris asal Jepang itu—lengkap dengan warna pastel, latar magis, dan nuansa nostalgia yang kuat. Tren ini pun cepat viral di media sosial, memicu kekaguman, sekaligus kontroversi.
Namun di balik keajaiban visual yang memanjakan mata, muncul perdebatan yang semakin menguat. Para seniman dan penggemar Studio Ghibli mempertanyakan etika dari penggunaan AI yang secara eksplisit meniru gaya visual yang dibangun selama puluhan tahun oleh seniman seperti Hayao Miyazaki dan tim kreatif Ghibli. Sebab, meski AI bekerja secara otomatis, tetap ada proses pelatihan yang dilakukan menggunakan ribuan bahkan jutaan referensi gambar—yang seringkali termasuk karya milik seniman lain tanpa izin.

Baca juga: Foto Ala Ghibli Pakai ChatGPT Viral, Pro & Kontra Bermunculan!
Polemik semakin panas ketika sejumlah individu mulai menawarkan jasa ilustrasi “ala Ghibli” dengan harga sangat murah melalui media sosial dan marketplace. Dengan bermodal prompt dan koneksi internet, mereka mampu menghasilkan ilustrasi yang menyerupai hasil karya profesional, namun tanpa melalui proses kreatif yang kompleks atau pemahaman mendalam tentang filosofi visual di baliknya. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa AI bisa merusak nilai kerja keras dan keaslian dalam dunia seni.
Studio Ghibli sendiri dikenal sangat menjaga integritas artistik mereka. Setiap film yang mereka hasilkan bukan hanya soal animasi, tapi juga hasil perenungan mendalam tentang kehidupan, alam, dan spiritualitas. Mengambil gaya mereka tanpa izin dan menjadikannya komoditas instan melalui teknologi, bagi banyak orang, adalah bentuk eksploitasi terhadap warisan budaya yang seharusnya dihormati.
Di sisi lain, ada juga suara yang melihat fenomena ini sebagai bentuk evolusi seni. Teknologi, dalam pandangan ini, memungkinkan siapa pun untuk mengekspresikan ide dan kreativitas mereka, meski tanpa kemampuan menggambar secara manual. AI dianggap bisa menjadi alat bantu, bukan pengganti, jika digunakan dengan bijak dan etis. Namun, garis batas antara “terinspirasi” dan “menjiplak” kerap kali kabur dalam praktiknya.
Masalah ini pun menyentuh ranah hukum, terutama soal hak cipta. Hingga kini, regulasi terkait karya AI masih berkembang dan belum sepenuhnya menjawab pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya memiliki hak atas gambar-gambar yang dihasilkan oleh algoritma. Apakah pencipta AI? Pengguna? Atau justru para seniman asli yang karyanya menjadi bahan latihan model?
Fenomena ilustrasi Ghibli versi AI adalah refleksi dari pertarungan antara teknologi, etika, dan kreativitas di era digital. Ia menunjukkan betapa pentingnya kesadaran kolektif dalam menggunakan inovasi dengan tetap menghormati nilai-nilai seni dan hak kekayaan intelektual. Sebab di balik gambar yang indah, ada nilai, kerja keras, dan sejarah yang tidak boleh diabaikan.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(dwk)
Tinggalkan Komentar