Teknologi.id - TikTok sedang menyiapkan strategi hukum untuk mencegah Rancangan Undang-Undang soal divestasi dan pemblokiran TikTok di Amerika Serikat (AS).
Sebagai informasi, RUU tersebut telah disetujui dan ditandatangani oleh DPR AS melalui kongres pada Sabtu (20/04/2024). RUU yang menyasar TikTok ini juga diperkirakan akan segera diundangkan dan ditandatangani oleh Presiden AS, Joe Biden.
Michael Beckerman, yang menjabat sebagai kepala kebijakan publik TikTok untuk Amerika, mengumumkan bahwa perusahaan berencana untuk menentang RUU tersebut di pengadilan dengan argumen bahwa RUU tersebut melanggar kebebasan berbicara.
"Saat penandatanganan RUU tersebut, kami akan mengajukan gugatan hukum ke pengadilan," kata Beckerman, dikutip dalam memo kepada staf perusahaan pada akhir pekan.
Baca juga: Bagaimana TikTok dan Instagram Reels Menantang Kemampuan Fokus Kita di Era Informasi
TikTok berencana untuk mengajukan gugatan terhadap aturan yang dikenal sebagai "Protecting Americans from Foreign Adversary Controlled Applications Act" ke pengadilan, dengan merujuk pada Amandemen Pertama, terutama dalam konteks menghambat kebebasan berbicara dan berekspresi.
TikTok berpendapat bahwa RUU tersebut bisa menghambat kebebasan berbicara, terutama bagi 170 juta pengguna aktifnya di AS.
Sebelumnya diketahui bahwa TikTok telah berhasil menghindari pemblokiran sebelumnya di AS melalui upaya hukum. Dalam langkah terbarunya, perusahaan telah mengalokasikan sumber daya yang signifikan untuk kampanye iklan yang menentang RUU tersebut.
Rancangan Undang-undang yang secara spesifik menargetkan TikTok memberikan dua pilihan.
Yang pertama adalah TikTok harus membentuk entitas perusahaan yang terpisah di Amerika Serikat. Ini berarti ByteDance, selaku perusahaan induk TikTok, harus menjual sahamnya dan melepaskan kendali atas TikTok kepada perusahaan non-China. Jika opsi ini tidak dipilih, opsi kedua adalah pemblokiran TikTok di AS.
Menurut TikTok, langkah tersebut akan menghambat hak kebebasan berbicara dari 170 juta pengguna aktif TikTok di Amerika, jumlah yang merupakan salah satu yang terbesar di dunia.
Pihak TikTok mengungkapkan kekecewaannya terhadap tindakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dinilai menggunakan alasan bantuan luar negeri dan kemanusiaan untuk memperjuangkan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) larangan yang diyakini akan mengancam hak kebebasan berbicara 170 juta orang Amerika.
TikTok menekankan bahwa penggunaan kedok tersebut dinilai sebagai upaya yang tidak tepat dan merugikan, karena pada akhirnya dapat mengorbankan kebebasan berbicara yang merupakan hak asasi setiap individu.
TikTok akan terus berupaya untuk bisa mencegah upaya pemblokiran di AS.
“Kami akan terus berjuang. Ini adalah permulaan, bukan akhir dari proses panjang ini,” tulis Beckerman, sebagaimana dikutip dari Variety.com, Selasa (23/4/2024).
Baca juga: DPR AS Sahkan RUU TikTok, Terancam Diblokir di Negeri Paman Sam?
Upaya TikTok
TikTok sering kali berhasil dalam beberapa kasus hukum yang melibatkan operasinya di Amerika Serikat.
Contohnya, pada bulan November sebelumnya, seorang hakim federal memblokir undang-undang di Montana yang bertujuan untuk melarang penggunaan TikTok di seluruh negara bagian.
Pada tahun 2020, upaya pemerintahan Donald Trump untuk memaksa ByteDance untuk menjual TikTok atau menghadapi pemblokiran juga dianggap inkonstitusional oleh pengadilan federal, merujuk pada Amandemen Pertama. Pada waktu itu, Pemerintahan Trump memediasi kesepakatan yang akan melibatkan perusahaan Amerika Serikat seperti Oracle dan Walmart untuk mengambil saham besar di TikTok, namun penjualan tersebut tidak berhasil terwujud karena beberapa alasan, salah satunya adalah ketatnya kontrol ekspor teknologi oleh pemerintah China.
TikTok telah melakukan upaya lobbying yang intens terhadap undang-undang tersebut, mendorong 170 juta pengguna aplikasi di AS (banyak di antaranya adalah kaum muda) untuk berbicara kepada Kongres dan menyuarakan penolakan mereka.
Mulai pertengahan Maret, TikTok telah mengalokasikan dana sebesar 5 juta dolar AS (sekitar Rp 81 miliar) untuk kampanye iklan televisi yang menentang RUU tersebut, menurut AdImpact, sebuah perusahaan yang melacak iklan.
Baca juga: Perbedaan Cari Informasi: Gen Z Lebih Pilih TikTok Dibanding YouTube
Bantahan TikTok
Ketakutan Amerika Serikat terkait kerahasiaan data yang terbongkar melalui TikTok, yang merupakan anak perusahaan dari ByteDance, memiliki beberapa alasan.
TikTok, sebagai entitas yang bernaung di bawah ByteDance. ByteDance sendiri diasumsikan memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Tiongkok. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan anggota Kongres AS bahwa Tiongkok mungkin menggunakan data pengguna TikTok yang berasal dari AS untuk memantau aktivitas warga AS. Dalam situasi di mana hubungan politik antara AS dan Tiongkok tidak harmonis, kekhawatiran semacam ini tidaklah mengherankan dan menjadi pemahaman umum.
Alasan lainnya yakni ada kekhawatiran tentang bagaimana data pengguna TikTok dapat digunakan untuk tujuan iklan yang ditargetkan atau bahkan untuk memengaruhi opini politik dan perilaku masyarakat AS. Dengan akses ke data pengguna yang luas, ada potensi untuk manipulasi informasi yang bersifat politik atau komersial.
Namun, TikTok telah secara berulang kali menyangkal tuduhan tersebut. Mereka menegaskan bahwa perusahaan selalu menjaga kerahasiaan data pengguna dan berkomitmen untuk terus mengamankannya. TikTok menyatakan bahwa semua data disimpan dalam server yang berada di luar wilayah China, sehingga perusahaan tidak terikat pada regulasi ketat yang diberlakukan oleh pemerintah Tiongkok.
TikTok juga menyebutkan bahwa sebagian data pengguna AS disimpan di Singapura sebagai langkah pencegahan jika terjadi masalah dengan server lokal. Selain itu, TikTok juga menegaskan bahwa 60 persen saham ByteDance dimiliki oleh perusahaan investasi global seperti General Atlantic, Susquehanna Capital, dan Sequoia Capital.
Saat ini, TikTok beroperasi melalui perusahaan terbatas yang berpusat di Los Angeles, AS, dan Singapura. Namun, pada hakikatnya, kepemilikan TikTok masih berada di bawah ByteDance, sebuah perusahaan teknologi yang berbasis di Haidian, Beijing, China.
Keterlibatan Pemerintah China dalam kendali terhadap perusahaan swasta dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan kekhawatiran di Amerika Serikat terkait seberapa besar kontrol yang dimiliki oleh Partai Komunis Tiongkok atas ByteDance dan data yang dimilikinya.
Dengan demikian AS bersikeras ingin melepaskan TikTok jika tetap dibawah kepemilikan ByteDance.
Situasi ini terus berlanjut hingga kini sehingga menciptakan ketegangan antara AS dan China semakin terlihat, khususnya upaya yang dilakukan pemerintah AS guna mengatasi masalah keamanan data dan kontrol atas perusahaan teknologi yang berasal dari Negeri Tirai Bambu.
(ny)
Tinggalkan Komentar