
Foto: HUMANOID ROBOTICS TECHNOLOGY
Teknologi.id – Video-video robot humanoid yang bisa menari, memasak, atau melakukan salto sering kali membuat kita berdecak kagum. Narasi yang dibangun sangat meyakinkan: masa depan di mana robot menggantikan pekerjaan manusia sudah di depan mata. Namun, di balik kilau teknologi tersebut, tersimpan sebuah "sisi gelap" ekonomi yang mengkhawatirkan.
Laporan terbaru dari DetikINET, Senin 22/12/2025, mengungkap realitas pahit di balik industri ini. Bukan tentang robot yang akan memberontak, melainkan tentang "Humanoid Bubble" atau gelembung investasi yang diprediksi akan segera pecah, meninggalkan kerugian triliunan rupiah bagi para investor yang termakan hype.
Euforia Berlebihan vs Realitas Teknis
Inti masalahnya terletak pada kesenjangan yang menganga antara ekspektasi investor dan kemampuan teknis robot saat ini.
Dunia investasi sedang dilanda demam robot. Data yang dikutip menunjukkan valuasi pasar yang fantastis. Goldman Sachs bahkan memprediksi pasar ini akan bernilai USD 38 miliar (Rp600 triliun) pada tahun 2035. Pemerintah China pun tak mau kalah, menggelontorkan dana subsidi hingga 15 miliar Yuan untuk memacu industri ini.
Uang mengalir deras seolah-olah teknologi ini sudah matang. Padahal, realitas di lapangan berkata lain.
Para pakar yang diwawancarai dalam laporan tersebut memperingatkan bahwa kemampuan robot humanoid saat ini sebenarnya masih sangat terbatas. Video promosi yang sering kita lihat di media sosial adalah hasil kurasi ketat (cherry-picked).
Faktanya, robot-robot ini masih kesulitan melakukan hal-hal dasar yang bagi manusia sangat sepele:
- Masalah Keseimbangan: Cara berjalan mereka masih kaku dan lambat.
- Ketangkasan Tangan: Kemampuan jari-jari robot untuk memegang objek rapuh atau melakukan manipulasi halus masih jauh dari sempurna.
- Daya Tahan Baterai: Mereka belum bisa bekerja full shift 8 jam tanpa diisi daya berulang kali.
Baca juga: Bumi: Robot Humanoid Murah Asal China, Harganya Setara iPhone
Fase "Kekecewaan Mendalam"
Kutipan paling menohok dalam laporan tersebut menyebutkan bahwa kita sedang menuju fase "Kekecewaan Mendalam" (Trough of Disillusionment).
"Kita akan melewati masa euforia yang besar, lalu kemudian masuk ke fase kekecewaan yang dalam," tulis laporan tersebut.
Ini adalah siklus klasik teknologi. Saat ini, investor membeli "janji masa depan". Namun, ketika nanti robot-robot ini mulai dikirim ke pabrik atau rumah tangga dan gagal memenuhi ekspektasi (sering jatuh, lambat, atau error), sentimen pasar akan berbalik drastis.
Ketika itu terjadi, valuasi perusahaan robotika yang saat ini melambung tinggi bisa runtuh dalam semalam. Banyak startup robot yang kini dipuja-puja berpotensi gulung tikar karena kehabisan napas (modal) sebelum produk mereka benar-benar siap pakai.
Foto: Ubtrobot
China dan Ambisi yang Berisiko
Sorotan khusus diberikan pada China. Ambisi Beijing untuk menjadi pemimpin dunia dalam robotika membuat mereka membanjiri pasar dengan subsidi. Hal ini memicu munculnya ratusan perusahaan robot baru yang mungkin tidak memiliki fundamental teknologi yang kuat, melainkan hanya ingin mencicipi dana subsidi pemerintah.
Situasi ini mirip dengan dot-com bubble tahun 2000-an atau ledakan industri kendaraan listrik (EV) di awal dekade ini, di mana banyak pemain berguguran dan hanya sedikit yang bertahan.
Baca juga: Xiaomi Targetkan Robot Humanoid Jadi Tenaga Utama di Pabriknya pada 2030
Jangan Tergocek Hype Bagi masyarakat umum dan calon investor, "sisi gelap" ini adalah peringatan keras. Kecanggihan yang ditampilkan di panggung pameran teknologi sering kali belum siap untuk dunia nyata.
Robot humanoid memang masa depan, tetapi jalan menuju ke sana masih panjang, terjal, dan mahal. Euforia saat ini hanyalah gelembung sabun yang indah dilihat, namun rapuh dan kosong di dalamnya. Sisi gelap industri ini bukanlah robot jahat, melainkan kerugian finansial akibat ekspektasi yang terlalu tinggi.
Baca berita dan artikel lainnya di Google News

Tinggalkan Komentar