Kamu mungkin sangat puas dengan teknologi kamera di telepon pintar terbarumu yang bisa mengenali wajahmu dan mengambil video gerak lambat dengan definisi ultra-tinggi. Padahal capaian-capaian teknologi ini baru awal dari sebuah revolusi besar yang sedang berlangsung.
Riset kamera terakhir sedang bergeser dari peningkatan jumlah mega piksel menuju perpaduan data kamera dengan pemrosesan komputasi. Yang kami maksud di sini bukanlah gaya pemrosesan Photoshop, ketika efek dan filter ditambahkan pada sebuah gambar, melainkan sebuah pendekatan baru radikal saat data yang masuk bisa jadi sama sekali tidak tampak sebagai sebuah gambar. Data itu baru menjadi sebuah gambar setelah melalui serangkaian langkah komputasi yang sering kali melibatkan matematika yang kompleks dan pemodelan bagaimana cahaya bergerak melewati objek atau kamera.
Lapisan tambahan pemrosesan komputasi ini dengan ajaibnya membebaskan kita dari rangkaian teknik pencitraan konvensional. Suatu saat nanti mungkin kita bahkan tidak membutuhkan lagi kamera dalam pengertian konvensional. Kita justru akan menggunakan sesuatu yang beberapa tahun lalu tidak terpikirkan gunanya dalam pembuatan gambar: detektor cahaya. Dan detektor cahaya ini akan melakukan hal-hal luar biasa seperti melihat dengan menembus kabut, apa yang ada dalam tubuh manusia, bahkan di balik tembok.
Kamera piksel tunggal
Salah satu contoh ekstremnya adalah kamera piksel tunggal yang bertumpu pada sebuah prinsip sangat sederhana. Pada umumnya kamera menggunakan banyak piksel (unsur sensor titik terkecil) untuk menangkap sebuah objek yang mungkin diterangi oleh sumber cahaya tunggal. Tapi kamu bisa melakukan itu dengan cara sebaliknya, menangkap informasi dari banyak sumber cahaya dengan sebuah piksel tunggal.
Untuk melakukan cara ini kamu memerlukan sebuah sumber cahaya terkontrol, misalnya saja sebuah proyektor data sederhana yang menerangi objek pada satu titik dalam satu waktu atau dengan serangkaian pola yang berbeda. Untuk setiap titik atau pola pencahayaan, kamu mengukur jumlah cahaya yang terpantul dan menggabungkan semuanya untuk menciptakan gambar final.
Kekurangan dalam mengambil foto dengan cara ini adalah, tentu saja, kamu harus mengirim banyak sekali titik atau pola pencahayaan untuk menghasilkan satu gambar (yang cuma membutuhkan satu jepretan dengan kamera biasa). Tapi bentuk pembuatan gambar ini memungkinkan kamu menciptakan kamera yang mustahil dengan cara lain, misalnya kamera yang bekerja dalam panjang gelombang di luar spektrum kasat mata, saat detektor yang bagus tidak bisa digunakan untuk kamera.
Kamera ini bisa digunakan untuk mengambil foto menembus kabut atau salju tebal yang berjatuhan, atau bisa meniru mata beberapa hewan dan secara otomatis meningkatkan resolusi gambar (jumlah detail yang ditangkapnya) tergantung pada apa yang ada pada objek.
Bahkan dimungkinkan menangkap gambar dari partikel-partikel cahaya yang bahkan tidak pernah berinteraksi dengan objek yang ingin kita foto. Metode ini memanfaatkan ide tentang “belitan kuantum” (quantum entanglement), yakni dua partikel bisa dihubungkan dengan suatu cara yang menyebabkan apa pun yang terjadi pada satu partikel terjadi juga pada partikel lainnya, sekalipun keduanya terpisah jauh.
Ini membawa kemungkinan menarik untuk melihat objek yang perangkatnya bisa berubah ketika diterangi, seperti halnya mata. Misalnya, apakah retina tampak sama saat dalam kegelapan seperti dalam terang cahaya?
Pencitraan multi-sensor
Pencitraan piksel-tunggal hanya salah satu inovasi paling sederhana dalam teknologi kamera yang akan datang dan bertumpu, dilihat sekilas, pada konsep tradisional tentang apa yang membentuk sebuah gambar. Sekarang ini kita sedang menyaksikan pasangnya gelombang minat terhadap sistem-sistem yang menggunakan banyak informasi yang hanya sedikit dihimpun oleh teknik-teknik tradisional.
Di sinilah kita bisa menggunakan pendekatan-pendekatan multi-sensor yang melibatkan banyak detektor berbeda yang menunjuk pada objek yang sama. Teleskop Hubble adalah contoh pelopor dalam memproduksi gambar yang dibuat dari kombinasi banyak citra berbeda yang diambil pada panjang gelombang yang juga berbeda. Kini kamu bisa membeli versi komersial teknologi jenis ini, misalnya kamera Lytro yang menghimpun informasi tentang intensitas dan arah cahaya pada sensor yang sama untuk menghasilkan gambar yang bisa difokuskan ulang setelah gambar yang dimaksud diambil.
Barangkali kamera generasi mendatang akan terlihat seperti kamera Light L16 yang mengusung teknologi terobosan berdasarkan lebih dari sepuluh sensor yang berbeda. Data kamera jenis ini dikombinasikan dengan sebuah komputer untuk menghasilkan gambar berukuran 50 Mb kualitas profesional yang bisa difokuskan ulang dan di-zoom ulang. Kamera itu sendiri terlihat seperti interpretasi sangat dramatis Picasso atas kamera telepon seluler yang sangat dahsyat.
Tapi itu semua baru langkah pertama menuju sebuah generasi baru kamera yang akan mengubah cara kita berpikir dan mengambil gambar. Para peneliti juga sedang bekerja keras mengatasi persoalan melihat dengan menembus kabut, melihat di balik tembok, bahkan pencitraan jauh di dalam tubuh dan otak manusia. Semua teknik ini bertumpu pada kombinasi gambar-gambar dengan model-model yang menjelaskan bagaimana cahaya bergerak melalui atau di sekitar zat-zat yang berbeda.
Pendekatan menarik lain yang semakin populer bertumpu pada kecerdasan buatan untuk “belajar” mengenali objek dari data. Teknik-teknik ini diilhami oleh proses pembelajaran otak manusia dan kemungkinan besar akan memainkan peran utama dalam sistem pencitraan di masa depan.
Teknologi pencitraan kuantum dan foton tunggal juga semakin matang hingga mencapai titik bisa mengambil gambar dengan tingkat cahaya luar biasa rendah dan video dengan kecepatan fantastis hingga satu triliun frameper detik. Kecepatan ini sudah cukup bahkan untuk menangkap gambar-gambar cahaya itu sendiri bergerak sebagai objeknya.
Sebagian dari aplikasi-aplikasi ini mungkin memerlukan sedikit waktu untuk berkembang sepenuhnya. Tapi kini kita tahu bahwa fisika yang mendasari pasti memungkinkan kita untuk menyelesaikan problem ini dan problem lain melalui kombinasi cerdas perpaduan teknologi baru dan kecakapan komputasi.
Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation. Ditulis oleh Daniele Facciodan Stephen McLaughlin. Baca artikel sumber.
Tinggalkan Komentar