AS-China akan Konflik Militer Besar di Laut Natuna Utara?

Fabian Pratama Kusumah . February 11, 2021

Foto: Sindonews

Teknologi.id - Amerika Serikat (AS) dan China diperkirakan sedang menuju konflik besar efek konflik China dengan Taiwan. Bahkan diperkirakan, masalah ini dapat menjadi pendorong terjadinya perang di Laut Natuna Utara (Laut China Selatan).

Hal ini diungkapkan oleh Dian Choyleva, Kepala Ekonom di Enodo Economics, dalam tulisannya di Financial Times. Tim risetnya meyakini, peluang terjadinya konflik di Taiwan telah naik secara signifikan.

Belakangan ini dikutip dari Reuters, kapal induk Theodore Roosevelt Carrier Strike Group dan Nimitz Carrier Strike Group melakukan banyak latihan di dekat kepulauan Paracel yang merupakan wilayah milik China.

Baca juga: Iran Rilis 340 Speedboat Berkecepatan Tinggi dan Bersenjata

Dikutip Kompas dari Express.co.uk hari Kamis 11 Februari 2021, ketegangan antara kedua negara besar tersebut telah meningkat selama sebulan terakhir.

Pada bulan Januari, jet militer milik Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) melakukan serangan rudal simulasi terhadap kapal induk Amerika, USS Theodore Roosevelt, saat berpatroli di perairan dekat Taiwan.

Bahkan Kementerian Pertahanan China mengeluarkan pernyataan keras kepada Taiwan, Kamis lalu. "Kemerdekaan (Taiwan) berarti perang," demikian pernyataan China.

Baca juga: Terobosan Baru Dunia Militer: Sensor Kuantum Buatan AS

Presiden China Xi Jinping, yang semakin tegas dan yakin, bahwa ada  takdir untuk membawa Taiwan kembali ke pangkuan China.

Menurut Choyleva, AS kemungkinan akan turut campur tangan dalam konflik antara China dan Taiwan ini.

"Pejabat AS telah lama mengadopsi 'ambiguitas strategis' ketika ditanya apakah mereka akan datang untuk menyelamatkan Taiwan jika terjadi aksi militer China. Jika pemaksaan China diperpanjang hingga blokade ekonomi besar-besaran di Taiwan, Washington mungkin akan campur tangan," ujarnya dalam tulisan di Financial Times.

Baca juga: Triliunan Rupiah Dicuri Hacker Korut untuk Program Nuklir

Choyleva juga menjelaskan, dalam konflik ini selain faktor ekonomi, AS juga bisa kehilangan status sebagai kekuatan utama di Asia-Pasifik. Menurutnya, pemerintahan Biden sejauh ini terikat pada kebijakan garis keras era Donald Trump di China.

Choyleva juga menambahkan, "Seperti yang diamati oleh sejarawan Yunani dan jenderal Thucidydes, pendorong perang adalah ketakutan, kehormatan, dan keuntungan, (pada konflik ini) semuanya meningkat ."

Belum diketahui sampai saat ini apakah akan ada tindakan dari pihak lain seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait memanasnya konflik tersebut.

(fpk)

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar