Benarkah Kecerdasan Buatan Adalah Pembunuh Pekerjaan? (Part-1)

Teknologi.id . February 02, 2018

Foto: singularityhub.com

Akhir-akhir ini peringatan soal bahaya kecerdasan buatan (artificial intelligence atau kerap dikenal AI) semakin melimpah.

Fisikawan seperti Stephen Hawking dan investor Elon Musk, meramalkan kejatuhan manusia akan segera terjadi. Dengan munculnya kecerdasan umum buatan dan program kecerdasan yang dirancang sendiri, AI jenis baru yang lebih cerdas akan lahir. AI canggih ini akan dengan cepat menciptakan mesin yang lebih cerdas yang pada akhirnya akan melampaui kemampuan manusia.

Ketika kita mencapai yang disebut singularitas teknologi AI, pikiran dan tubuh kita akan menjadi usang. Manusia bisa bergabung dengan mesin dan terus berkembang sebagai cyborg.

Apakah masa depan seperti itu benar-benar yang akan kita hadapi?

Warna-warni AI pada masa lalu

AI, sebuah disiplin ilmiah yang berakar pada ilmu komputer, matematika, psikologi, dan ilmu saraf, bertujuan menciptakan mesin yang meniru fungsi kognitif manusia seperti pembelajaran dan pemecahan masalah.

Sejak 1950-an, robot telah memasuki imajinasi publik. Namun, dalam sejarahnya, keberhasilan AI sering diikuti oleh kekecewaan yang sebagian besar disebabkan oleh ramalan para visioner teknologi yang terlampau berlebihan.

Pada 1960, salah satu pendiri bidang AI, Herbert Simon, meramalkan bahwa “Dalam dua puluh tahun kedepan, mesin akan mampu melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan seorang pria.” (Dia tidak mengatakan apa pun tentang perempuan.)

Marvin Minsky, pelopor jaringan saraf tiruan bahkan lebih blak-blakan, “dalam satu generasi,” ujarnya, “… masalah bagaimana membuat ‘kecerdasan buatan’ secara substansial akan dapat dipecahkan”.

Tapi ternyata Niels Bohr, fisikawan Denmark awal abad ke-20, berkata, “Prediksi itu sangat sulit, apalagi tentang masa depan.”

Saat ini, kemampuan AI mencakup pengenalan suara, performa unggul di permainan strategi seperti catur dan Go, mobil otonomos (self-driving cars), dan kemampuan menguak pola tersembunyi yang tertanam dalam data kompleks.

Namun, beragam kemampuan ini tak sampai membuat manusia jadi tidak berguna.


Pemain Go Cina Ke Jie bereaksi saat pertandingan keduanya melawan program kecerdasan buatan Google. 25 Mei 2017 (foto: Reuters).

Euforia neuron baru

Tapi AI sedang berkembang cepat. Euforia AI terbaru dipicu pada 2009 oleh pembelajaran jaringan saraf mendalam (learning of deep neural networks)yang jauh lebih cepat. (Istilah deep learning mengacu pada melatih jaringan saraf buatan untuk mengidentifikasi pola dari sekumpulan data).

Kecerdasan buatan terdiri dari kumpulan besar unit komputasi yang disebut neuron buatan yang saling terhubung. Mereka bisa secara bebas dianalogikan seperti kumpulan saraf di otak kita. Untuk melatih jaringan ini “berpikir”, para ilmuwan memberikan banyak masalah, yang sudah ada jawabannya, untuk dipecahkan.

Salah satu contoh masalah sebagai berikut: kami menunjukkan sekumpulan gambar jaringan tubuh, masing-masing diberi catatan diagnosis kanker atau tanpa kanker, pada jaringan neuron buatan untuk menghitung probabilitas kanker.

Respon jaringan neuron buatan itu kemudian kami bandingkan dengan jawaban yang benar, menyesuaikan hubungan antara “neuron” dengan setiap kecocokan yang gagal. Kami kemudian mengulangi prosesnya, menyempurnakan semuanya, sampai sebagian besar tanggapan sesuai dengan jawaban yang benar.

Pada akhirnya, jaringan saraf buatan ini akan siap melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh ahli patologi: memeriksa gambar jaringan untuk memprediksi kemungkinan kanker.

Ini mirip dengan cara seorang anak belajar memainkan alat musik: dia mempraktikkan dan mengulang lagu sampai sempurna. Pengetahuannya disimpan dalam jaringan saraf, tapi mekanisme bagaimana seorang anak belajar memainkan musik tak mudah dijelaskan.

Jaringan dengan banyak lapisan “neuron” (karena itu disebut jaringan saraf “dalam”) berhasil diaplikasikan secara praktis hanya ketika para peneliti mulai menggunakan banyak prosesor paralel pada chip grafis untuk pelatihan mereka.

Kondisi lain yang mendorong keberhasilan deep learning adalah banyaknya kumpulan soal untuk dipecahkan. Dengan menambang internet, jejaring sosial dan Wikipedia, para peneliti membuat koleksi gambar dan teks yang besar. Ini memungkinkan untuk melatih mesin mengelompokkan gambar, mengenali ucapan, dan menerjemahkan bahasa.

Jaringan saraf mendalam sudah melakukan tugas-tugas ini hampir sama seperti manusia.

Lalu apakah AI benar-benar dapat berperilaku seperti manusia? Apakah AI tertawa? (bersambung ke Part-2).

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar