Teknologi.id - Sejak pandemi Covid-19 menginvasi dunia, “eksperimen” kerja jarak jauh (remote) atau Work from Home (WFH) ramai diterapkan hampir di seluruh bidang pekerjaan di dunia. Perubahan sistem kerja tersebut berimbas positif, di mana akhirnya banyak perusahaan yang mau tidak mau terpaksa mengadopsi tren kerja jarak jauh yang fleksibel dan terdigitalisasi.
Menariknya, survei terbaru menunjukkan bahwa 91% karyawan yang melakukan kerja secara WFH di saat pandemi ingin tetap melanjutkan pekerjaan jarak jauh ketika pandemi usai nanti.
Dan yang terjadi pun saat ini banyak perusahaan sedang bereksperimen dengan berbagai model kerja jarak jauh yang nantinya bisa diterapkan ketika pandemi usai.
Namun, satu hal yang tidak bisa kita kesampingkan adalah bagaimana sistem kerja WFH ini jika dikaitkan dengan dampak terhadap lingkungan?
Bila dilihat secara kasat mata, selama periode gencarnya lockdown dan WFH akibat Covid-19, memang banyak yang berasumsi bahwa sistem kerja WFH akan mendukung kelestarian lingkungan. Berkurangnya lalu lalang transportasi, kegiatan industri, dan berubahnya pola konsumsi masyarakat saat periode lockdown mengurangi emisi CO2 global hingga sebesar 17% pada April 2020 menurut jurnal Nature Climate Change.
Lantas, benarkah sistem kerja WFH memang benar-benar ramah untuk lingkungan? Nyatanya, asumsi tersebut kian memudar, pasalnya emisi CO2 global saat ini sudah hampir kembali ke tingkat pra-pandemi menurut laporan dari Global Carbon Project.
Tak hanya itu, salah satu ironi yang terjadi selama pandemi dan maraknya kebijakan WFH adalah terjadinya peningkatan jumlah sampah plastik di tengah penurunan sampah jenis lainnya.
Mengapa bisa begitu? Menurut penelitian dari Pusat Penelitian Oseanografi dan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, peningkatan sampah plastik diakibatkan karena aktivitas belanja online yang cenderung meningkat selama periode PSBB/WFH. Dari yang sebelumnya hanya 1 hingga 5 kali dalam satu bulan, menjadi 1 hingga 10 kali selama PSBB/WFH.
Begitu pula dengan penggunaan layanan delivery barang atau pun makanan lewat jasa transportasi online. Padahal, 96% paket dibungkus plastik yang tebal dan ditambah dengan bubble wrap. Selotip, bungkus plastik, dan bubble wrap merupakan pembungkus berbahan plastik yang paling sering ditemukan. Bahkan di kawasan Jabodetabek, jumlah sampah plastik dari bungkus paket justru lebih banyak dibandingkan jumlah sampah plastik dari kemasan yang dibeli.
Padahal kita tahu, plastik merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar. Sebuah penelitian dari Nature Climate Change berhasil menghitung bahwa dalam seluruh siklus hidupnya, plastik menyumbang 3,8% dari emisi gas rumah kaca secara global. Persentase tersebut hampir dua kali lipat dari emisi sektor penerbangan berdasarkan data dari European Commission. Bahkan, jika plastik diibaratkan sebagai sebuah negara, “Kerajaan Plastik” akan menjadi penghasil emisi tertinggi kelima di dunia.
4 Parameter yang Perlu Dipertimbangkan Perusahaan untuk WFH
Berangkat dari data-data di atas, bisa dikatakan bahwa sistem kerja WFH tidak bisa menjamin terciptanya kelestarian lingkungan. Untuk itu, perusahaan-perusahaan pun harus segera mempertimbangkan mengenai perilaku karyawan yang relevan dengan lingkungan jika ingin terus mengupayakan sistem kerja WFH secara berkelanjutan.
Ada empat parameter yang patut disorot oleh perusahaan terkait dampak lingkungan yang terjadi ketika karyawan melakukan WFH, yaitu: energi, transportasi, teknologi, dan limbah.
Energi
Dampak WFH pada penggunaan energi bisa dibilang beragam. Beberapa penelitian menemukan efek positif, sementara penelitian yang lain menunjukkan dampak netral atau bahkan negatif pada penggunaan energi.
Intinya, dampak tersebut dapat sangat bervariasi menurut karakteristik individu karyawan (misalnya, kesadaran, sikap, jumlah anggota keluarga, kekayaan), infrastruktur rumah (misalnya, material bangunan, ukuran rumah. listrik yang digunakan), dan bahkan faktor situasional (misalnya, lokasi geografis dan musim).
Ketika perusahaan membuat kebijakan WFH, misalnya dengan mensubsidi tagihan listrik rumah , mereka juga perlu memperhitungkan dampak keberlanjutan dari emisi energi perumahan yang dihasilkan.
Transportasi
Berkurangnya lalu lintas kendaraan saat WFH tidak diragukan lagi akan menghasilkan manfaat lingkungan. Tetapi ada bukti yang muncul mengenai efek rebound, di mana penurunan lalu lintas kendaraan dan emisinya bisa tiba-tiba melonjak dan bahkan melampaui tingkatnya sebelum pandemi terjadi.
Selain itu, meski banyak pekerja yang tidak lagi menggunakan alat transportasi untuk ke kantornya (karena WFH), nyatanya perjalanan singkat dan perjalanan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan justru meningkat (misalnya, belanja, liburan, dll).
Hal itu terbukti dalam penelitian dari Social Science Research Network, di mana sejumlah karyawan yang sedang WFH mendapati penurunan jarak tempuh kendaraannya, namun rata-rata jumlah perjalanan justru meningkat sebesar 26%.
Teknologi
Bekerja secara WFH tentunya membutuhkan peralatan elektronik yang mendukung, seperti smartphone, tablet, monitor, laptop, komputer, printer, dan lainnya, karena hampir seluruh pekerjaan dan komunikasi harus dilakukan secara online.
Padahal menurut jurnal yang dipublikasikan ScienceDirect, menemukan bahwa perangkat elektronik tersebut berkontribusi terhadap total jejak karbon global yang diperkirakan akan tumbuh dari sekitar 1% pada 2007 menjadi 3,5% pada 2020 hingga mencapai 14% pada 2040. Jumlah tersebut lebih dari separuh jejak karbon global sektor transportasi di seluruh dunia.
Limbah
Seperti yang diungkapkan di atas, salah satu ironi yang terjadi selama pandemi dan maraknya kebijakan WFH adalah terjadinya peningkatan jumlah sampah plastik di tengah penurunan sampah jenis lainnya. Peningkatan sampah plastik diakibatkan karena aktivitas belanja online yang cenderung meningkat selama periode PSBB/WFH. Dari yang sebelumnya hanya 1 hingga 5 kali dalam satu bulan, menjadi 1 hingga 10 kali selama PSBB/WFH.
Tak hanya plastik, limbah elektronik pun juga berpotensi menjadi momok lingkungan selama periode WFH. Pasalnya, ketika WFH otomatis hampir seluruh kegiatan elektronik di kantor akan berpindah ke rumah, namun perangkat yang digunakan biasanya adalah perangkat pribadi, sehingga memperbesar kemungkinan banyaknya jumlah perangkat elektronik yang terbuang.
Bagaimana Menerapkan WFH yang Ramah Lingkungan?
Pekerjaan jarak jauh tentunya menjadi suatu tantangan baru bagi banyak perusahaan, bagaimana cara menerapkan sistem WFH yang ramah lingkungan namun tetap menjaga produktivitas karyawan untuk keberlangsungan bisnis.
Tanamkan budaya keberlanjutan
Untuk menciptakan budaya kerja yang ramah lingkungan, perusahaan perlu memastikan bahwa setiap keputusan di semua departemen harus mempertimbangkan prinsip keberlanjutan.
Perusahaan harus menganalisa norma dan persepsi sosial yang ada untuk menangani parameter-parameter yang disebut sebelumnya yakni transportasi, teknologi, limbah, dan emisi energi para karyawan, dan kemudian merancang cara bagaimana untuk mengurangi emisi ini.
Selain itu, para petinggi perusahaan juga harus mencontohkan budaya keberlanjutan dalam setiap tindakannya, sehingga para karyawan tidak merasa terpaksa dan justru menaruh rasa hormat terhadap organisasi perusahaan.
Prosedur WFH yang jelas
Sebelum memberlakukan WFH untuk karyawan, pastikan perusahaan sudah membuat prosedur WFH yang jelas. Prosedur ini harus disusun sedemikian rupa sehingga karyawan tetap dapat bekerja secara produktif di rumah mereka.
Adapun isi dari prosedur yang perlu disusun harus mencakup tentang jam kerja harian, bagaimana karyawan harus menyerahkan tugas mereka, bagaimana mereka harus memberikan update, bagaimana tim akan melakukan meeting, dan lain-lain.
Prosedur WFH yang jelas akan memotivasi karyawan untuk bekerja sepenuh hati meskipun tidak berada di kantor. Perusahaan pun akan merasa lebih tenang karena setiap pekerjaan karyawan akan tetap dapat termonitor dengan baik.
Berikan kebijakan yang mendukung
Untuk menanamkan budaya yang ramah lingkungan, perusahaan harus menyediakan dukungan yang tepat terhadap para karyawan WFH sesuai dengan kebutuhannya.
Kebijakan yang dimaksud misalnya dengan mendorong dan mendukung karyawan untuk beralih ke sumber energi terbarukan di rumah dengan menyediakan akses ke layanan penggantian energi otomatis. Perusahaan juga dapat memberikan insentif untuk perjalanan menggunakan sepeda dalam rangka rapat kerja. Bisa juga dengan menawarkan daur ulang dan pembuangan limbah elektronik yang aman melalui kemitraan dengan perusahaan daur ulang.
Mengurangi penggunaan kertas
Hal lain yang bisa dilakukan perusahaan adalah dengan menghindari mencetak atau print dokumen yang tidak perlu. Jika bisa menggunakan dokumen dalam versi elektronik, kenapa harus dicetak?
Jika memang terpaksa harus mencetak dokumen, perusahaan bisa menyuplai kertas daur ulang dan tinta ramah lingkungan.
Sesuaikan dengan karakteristik pekerjaan
Beberapa kebijakan untuk mendorong budaya keberlanjutan dan ramah lingkungan mungkin berguna bagi sejumlah karyawan. Namun, kebutuhan dan pekerjaan antar individu, tim, perusahaan, dan industri sangatlah bervariasi dan tidak bisa digeneralisir.
Misalnya, karyawan suatu perusahaan mungkin sangat bergantung pada teknologi, jadi membantu mengurangi emisi dari limbah elektronik dan energi akan sangat berguna.
Sedangkan, karyawan perusahaan lain mungkin memiliki urgensi untuk melakukan perjalanan jarak jauh atau sering melakukan perjalanan kerja, sehingga prioritasnya adalah menurunkan emisi transportasi, misalnya dengan mengurangi perjalanan yang tidak penting, menggunakan transportasi rendah karbon, hingga menggunakan penerbangan kelas ekonomi.
Intinya adalah bahwa satu kebijakan tidak bisa digeneralisir terhadap semua pekerjaan. Jadi ketika merancang kebijakan WFH yang ramah lingkungan, perusahaan perlu mempertimbangkan keadaan unik para karyawan serta karakteristik operasi bisnis mereka untuk mengidentifikasi kebijakan yang paling relevan.
Referensi:
Is Remote Work Actually Better for the Environment?, Ganga Shreedhar, Kate Laffan, and Laura M. Giurge
Temporary reduction in daily global CO2 emissions during the COVID-19 forced confinement, Nature Climate Change
Global Carbon Project (2021) Carbon budget and trends 2021
Strategies to reduce the global carbon footprint of plastics, Jiajia Zheng & Sangwon Suh, Nature Climate Change
Reducing emissions from aviation, European Commission
Peningkatan Sampah Plastik dari Belanja Online dan Delivery Selama PSBB, LIPI
Telework and Sustainable Travel During the COVID-19 Era, William Riggs, Social Science Research Network
Assessing ICT global emissions footprint: Trends to 2040 & recommendations, Lotfi Belkhir & Ahmed Elmeligi, ScienceDirect
(dwk)
Tinggalkan Komentar