Teknologi id – Noor Titan Putri Hartono, wanita kelahiran Cimahi, Jawa Barat, 13 Desember 1992 ini sejak kecil telah terbayang-bayang dengan matematika dan mesin. Hal itu tak lepas dari sosok sang ayahnya yang merupakan seorang dosen teknik mesin dan elektronika di sebuah kampus.
Bayang-bayang tersebut pun akhirnya mempengaruhi perempuan yang biasa dipanggil dengan Titan ini dalam mengambil jurusan studi lanjutannya. Pendidikannya dari sarjana hingga doktoral ia tempuh di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, dengan mengambil jurusan Teknik Mesin.
Pada saat mengambil program master pada 2016-2018 tersebut, Titan mengambil penelitian berupa perovskite, sebuah material pembentuk sel surya yang digadang-gadang akan menggantikan silikon sebagai komponen pembangkit listrik tenaga surya yang lebih efisien dan murah.
Apa itu perovskite?
Sama seperti silikon, sel surya perovskite memiliki fungsi menangkap energi matahari dan nantinya akan diubah menjadi listrik. Material ini sekarang cukup banyak dipakai di pasaran karena merupakan material baru yang digunakan untuk menjadi alternatif silikon.
Menurut Titan, material perovskite ini banyak digunakan karena lebih murah saat diproduksi massal dibandingkan dengan silikon. Dimana silikon sendiri sebagai bahan pembentuk sel surya yang kurang-lebih memiliki persamaan dalam prosesnya dengan semikonduktor. Prosesnya membutuhkan modal dan biaya yang tidak kecil dan harga jualnya makin lama makin murah.
Menurut Titan, penelitian terhadap perovskite ini telah dilakukan pada tahun 2010. Bahkan sekarang, beberapa perusahaan rintisan telah berfokus untuk mengembangkannya. Namun, sampai saat ini, masih belum ada hasil produk panel surya yang materialnya terbuat dari perovskite.
Baca juga: Mahasiswa Asal Jember Jadi Pekerja WNI Pertama di Tesla Jerman
Kelebihan perovskite
Selain memiliki harga yang lebih murah dibanding dengan silikon, perovskite memiliki lapisan yang lebih tipis dibanding dengan silikon.
Menurut Titan, perovskite ini memiliki ukuran sebesar sekian ratus nanometer. Ia juga menjelaskan bahwa material ini lebih fleksibel sehingga memiliki potensi dapat dikembangkan untuk membuat jam tangan bertenaga surya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Titan, perovskite yang disiapkan untuk sel surya itu terbentuk dari gabungan material timbel, iodin dan bromin.
Tetapi, semua benda tidak ada yang sempurna. Perovskite memiliki kelemahan yaitu sifatnya yang beracun dan materialnya yang belum stabil.
Baca juga: Bahan Fotovoltaik Baru untuk Panel Surya Ultrathin dan Ringan
Penelitian Titan
Titan melakukan penelitian perovskite pada 2016 sebagai topik tesis masternya di MIT. Ia mengajukan permohonan dan diterima di MIT Photovoltaics Research Laboratory, yang pada saat itu sedang melakukan penelitian perovskite juga.
Pada saat itu, tidak sedikit peneliti untuk mencari pengganti silikon, yang sudah dikembangkan sejak 1970-1980-an.
Titan sendiri mengambil fokus dalam menstabilkan perovskite. Selain itu masih ada dua tim lainnya yang memiliki fokus yang berbeda, yaitu mengembangkan efisiensi bahan dan mengurangi sifatnya yang beracun.
Titan menjelaskan bahwa perovskite ini memiliki kestabilan hanya dalam waktu sekian bulan saja, setelah itu tidak bisa digunakan lagi. Berbeda dengan silikon yang memiliki umur hingga 25 tahun. Yang berarti silikon ini tidak perlu diganti dalam periode tersebut dan hanya perlu perawatan yang minimal.
Setelah menyelesaikan studi doktoralnya pada 2021 lalu, Titan sudah membuat panel surya perovskite dalam skala riset, yaitu belum dalam bentuk panel surya yang besar. Ukurannya 1 x 1 ini dang memiliki efisiensi 18 sampai 19 persen. Menurutnya, penal ini masih bisa dikembangkan efisiennya, karena pada tim lain tingkat efisiennya mencapai 24 sampai 25 persen.
Titan melanjutkan riset pasca doktoral nya di Helmholtz-Zentrum Berlin, Jerman, lembaga riset yang berfokus pada pengembangan energi ramah lingkungan.
Di jerman ini, Titan mengembangkan perovskite ini dengan bahan dasar timah dengan campuran metilamonium, iodin dan bromin. Menurutnya timbah lebih tidak stabil dibanding timbel. Timbel terdegradasi lebih lama, bisa beberapa bulan, sedangkan untuk timah dalam beberapa menit sudah terdegradasi.
Titan juga menggunakan Machine Learning dalam melakukan penelitiannya. Machine Learning membantu dalam mengumpulkan data tentang ukuran variabel yang digunakan.
Baca juga: Ilmuwan Ungkap Cara Panen Matahari untuk Listrik
Pengembangan perovskite di Indonesia
Menurut Titan, perovskite ini layak dikembangkan di Indonesia, apalagi Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki sinar matahari yang lebih banyak.
Titan berharap pemerintah Indonesia memiliki keinginan untuk melakukan transisi energi, dimana listrik masih berasal dari batubara, dimana material tersebut semakin lama akan memperburuk iklim bumi.
Meskipun sudah ada penelitian perovskite, tetapi masih ada banyak tantangan yang dihadapi saat melakukan penelitian di Indonesia, di antaranya masalah anggaran, fasilitas, serta bahan baku.
(na)