Foto: Unsplash
Teknologi.id – Indonesia berencana mempunyai pusat
teknologi dan riset tanah air bernama Bukit Algoritma. Diharapkan mirip Silicon
Valley di Amerika Serikat, Bukit Algoritma dikabarkan dikembangkan oleh PT
Amarta Karya (Persero).
Sayangnya, Kepala Center of
Innovation and Digital Economy di Institute of Development of Economics and
Finance (INDEF), Nailul Huda menilai Bukit Algoritma berpotensi mangkrak atau gagal sukses.
Ia mencatat ada tiga kondisi di tanah
air yang dinilai belum maksimal terkait industri teknologi. Berikut 3 kondisi yang akan buat Bukit Algoritma gagal sukses:
Ekosistem R&D di Indonesia Masih Sangat Rendah
Ekosistem R&D di Indonesia masih
sangat rendah, karena tiga kondisi. Pertama, proporsi dana Research and
Development (R&D) terhadap PDB masih rendah. Kedua, produk high-tech
Indonesia sangat sedikit. Ketiga, kebijakan insentif fiskal belum optimal.
Proporsi dana R&D terhadap PDB
secara total di Indonesia hanya 0,24 persen. Sampai saat ini, proporsi dana
R&D terhadap PDB yang dihasilkan dari sektor bisnis swasta itu masih di bawah
0,1 persen, itu hanya 0,02 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Itu sangat jauh dibandingkan dengan
Korea Selatan, Jepang, China, Singapura, bahkan Thailand (0,801 persen) yang
dia memang fokus untuk mengembangkan R&D-nya dari sektor bisnis swasta,”
ujarnya dalam diskusi online bertema Menyingkap Angan Silicon Valley ala
Indonesia, beberapa waktu lalu.
Dampaknya, ekspor manufaktor
high-tech di Indonesia masih sangat rendah. Sementara itu, untuk membangun
sebuah tempat khusus untuk pengembangan teknologi itu diperlukan
industri-industri high-tech yang menjamur.
“Di Indonesia sendiri, ekspor manufaktor high technology itu hanya 8,1 persen dari total ekspor, sedangkan Malaysia, Vietnam, Thailand itu jauh lebih unggul di mana Malaysia sudah menyentuh 52 persen, Thailand 24 persen, Vietnam menyentuh 40 persen,” ungkap Huda.
Baca juga: Menilik Rencana Pembangunan Bukit Algoritma di Sukabumi
Lebih lanjut ia menyatakan, “Bisa
dibayangkan bahwa nantinya yang masuk ke Bukit Algoritma ini industri yang dia
tidak high-tech. Nah, ini sama saja bohong, hanya menyediakan propertinya
saja.”
Di sisi lain, inovasi Indonesia
merupakan keempat terburuk di ASEAN. Posisi Indonesia ada di bawah Singapura,
Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Brunei Darussalam. Indonesia hanya
unggul dari Kamboja, Laos, dan Myanmar.
Ketimpangan digital masih tinggi
dalam hal skill dan penggunan produk digital
Indonesia mengalami sektor TIK yang
eksklusif alias hanya dinikmati oleh kalangan tertentu. Ketimbangan sektor TIK
di Indonesia terus terjadi dan bertambah besar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS) 2020, pengembangan TIK hanya berpusat di Pulau Jawa, khususnya DKI
Jakarta dan DIY Yogyakarta.
“Dilihat dari keparahan ketimbangan,
pada tahun 2017 hanya 3,45 persen. Namun, pada 2018 meningkat menjadi 3,85
persen,”
Sementara itu, berdasarkan Data
Potensi Desa oleh BPS pada 2020, masih banyak desa di luar Pulau Jawa yang
mengalami sinyal susah, bahkan tidak ada lagi sinyal. “Terutama pada pulau di
Maluku dan Papua, di mana ada 70 persen lebih desa yang belum mendapatkan
sinyal seluler.”
Sumber daya manusia yang masih belum
mencukupi untuk masuk ke dalam industri 4.0
Indonesia hanya memiliki 216 peneliti
per satu juta penduduk. Alhasil, paten tanah air juga rendah dibandingkan negara
lain di ASEAN.
“Dibandingkan dengan Malaysia dan
Singapura, proporsi penduduk Indonesia yang ahli dalam pemrograman komputer
masih sangat rendah, hanya 3,5 persen dari penduduk muda dan dewasa. Indonesia
hanya unggul dari Thailand dan Filipina,” ujar Huda.
Karena itu, masih ada selisih antara
penawaran dan permintaan tenaga kerja sektor ICT, khususnya untuk pekerjaan data
dan Analisa, serta pemrograman di sektor financial technology (fintech).
(MIM)