
Foto: wsj
Teknologi.id - Gedung Putih di bawah Trump sedang mengintegrasikan Artificial Intelligence (AI) secara agresif ke strategi komunikasinya, langkah yang dianggap petinggi memiliki potensi untuk mengubah kenyataan. Pendekatan ini mengizinkan pemerintahannya untuk mendominasi percakapan publik dan menyebarkan pesan dengan cepat ke seluruh platform resmi Gedung Putih dan milik Presiden Trump.
"Kami akan memanfaatkan semua alat yang kita bisa—bahkan jika menggunakan AI—untuk mengisi konten kami," ucap perwakilan Gedung Putih secara anonim.
Penggunaan AI menandai kali pertama akun kepresidenan memanfaatkan teknologi secara resmi. Gambar dapat digenerasikan dalam beberapa menit—seperti Trump yang dibuat seperti Jedi gagah, atau Gedung Putih yang memiliki lengkungan McDonald's akan menggantikan tugas desainer grafis selama berjam-jam.
"Seperti, apakah anda ingin menghabiskan delapan di Photoshop melakukan edit grafis, atau apakah anda ingin mengabiskan lima menit di AI dan melakukan edit grafis? Itu menghemat waktu kami, membuat kami lebih gesit. Jadi, AI mempersingkat banyak hal bagi kami," jelas seorang petinggi.
Juru bicara Gedung Putih, Liz Huston memperkuat pendekatan tersebut, Ia menjelaskan, "Gedung Putih memiliki strategi komunikasi dengan gaya otentik dan tiada bandungannya karena dipimpin oleh komunikator terhebat dalam sejarah Politik Amerika—Presiden Donald J. Trump."
Baca juga: Trump Ungkap Niat Ingin “Bantu China”, Benarkah Perang Dagang Telah Usai?
Dilema Etis: Peningkatan vs. Manipulasi
Banyaknya penggunaan konten AI-generated oleh pemerintahan tertinggi memunculkan kekhawatiran etika. Teoris AI, John Nosta. mempertanyakan tentang dilewatinya batasan moral.
"Zona abu-abunya adalah, apakah ini komunikasi yang ditingkatkan atau komunikasi yang dimanipulasi?" tanyanya.
Saat ini gambar AI dari pemerintahannya belum dirancang untuk benar-benar menipu, Nosta berargumentasi kalau manipulasi yang lucu saja termasuk problematik, terutama jika manipulasi tersebut mengubah kenyataan. "Umumnya, informasi yang disebarkan Gedung Putih harus sesuai dengan standar etika tertentu," tukasnya.
Sejarawan kepresidenan, Tevi Troy mengubungkan garis paralel dengan perubahan teknologi masa lalu, menekankan kampanye politik yang cepat beradaptasi dengan teknologi biasanya lebih maju, mengutip pemanfaatan radio di masa kampanye Franklin Roosevelt dan pemanfaatan TV di masa John F. Kennedy. Namun, Troy juga memperingatkan munculnya perangkap: "Dalam pekerjaan saya, saya terkadang melihat konten yang digenerasikan AI memiliki halusinasi."
Menemukan Budayanya
Meskipun adanya pertanyaan etis dan konseptual mengenai perubahan realita, tim Trump melihat adopsi AI besar-besaran ini penting untuk dua alasan: terhubung dengan anak muda Amerika dan meyakinkan kalau pesan mereka tercapai di lanskap media yang lebat dan modern. Pilihan strategi ini dianggap vital untuk menjaga relevansi di budaya kontemporer.
Sebuah sumber yang dekat dengan Gedung Putih menekankan konteks sejarah, mengatakan kalau partai Republik dianggap lebih lambat untuk terlibat dalam budaya modern di beragam generasi. Faktor uniknya kini, yang dijelaskan oleh sumber tersebut, presiden berusia 79 tahun mendukung staffnya yang lebih muda, terutama mereka yang berumur 20-an, untuk memanfaatkan alat baru untuk "meet the moment and to meet the culture (temukan momennya untuk menemukan budayanya)". Kemauan untuk merangkul tren terkini terlihat menguntungkan bagi partainya.
Selagi mengakui bahwa beberapa meme dan strategi yang digenerasi AI bisa "melewati batas," sumber tersebut menjaga agar konten yang disajikan efektif, menarik, dan superior dibandingkan yang digenerasikan demokrat. Sudut pandang ini memperkuat pendapat kalau pemerintahan mengakui AI penting untuk masa kini dan masa depan.
Meski begitu, bahkan para pendukung pun menekankan pentingnya implementasi yang hati-hati. Colton Malkerson, co-founder platform teknologi AI Edgerunner, setuju bahwa penggunaan teknologi ini oleh Gedung Putih merupakan perkembangan yang positif. Namun, ia mengingatkan bahwa—seperti teknologi baru lainnya—teknologi ini harus diterapkan dengan bijak, terutama terkait kebutuhan akan “akurasi, keandalan, [dan] kejujuran” dalam penerapannya.
Baca juga: Aturan Visa H-1B Baru Trump Ancaman Serius bagi Perusahaan Teknologi AS
Dorongan Federal AI: U.S. Tech Force

Foto: US Tech Force
Selain komunikasi, pemerintahan Trump fokus dalam meluncurkan AI di seluruh pemerintahan federal. Mengikuti perintah eksekutif yang bertujuan untuk membatasi rintangan ke inovasi AI, pemerintahan memperkenalkan inisiatif "U.S. Tech Force (Pasukan Teknologi AS)".
Diumumkan pada hari Senin (15/12/2025), inisiatif ini bertujuan untuk merekrut sekitar 1.000 teknisi dan spesialis untuk menjadikan infrastruktur teknologi pemerintah yang modern, berfokus pada implementasi AI, bekerja dengan tim yang melaporkan langsung ke para pemimpin lembaga.
Dorongan ini melibatkan kolaborasi dengan mitra swasta besar, termasuk Amazon Web Services, Apple, Google Public Sector, Microsoft, Nvidia, dan OpenAI.
Inisiatif ini menyoroti komitmen pemerintah dalam mengembangkan infrastruktur AI dan bersaing dengan Cina. Gaji tahunan para spesialis ini diperkirakan mencapai $150.000 sampai $200.000 (Rp2,5 M - Rp3,3 M), ditambah benefit, mencerminkan usahanya untuk meraih talenta teknologi teratas ke dalam pelayanan pemerintah.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(yna/sa)