Teknologi.id - Dunia penerbangan Indonesia kembali berduka. Pesawat Lion Air JT-610 yang sempat mengalami
lost contact dipastikan jatuh di perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat. Pesawat tersebut terbang dari Bandara Soekarno Hatta pada Senin (29/10) pukul 06.20 WIB menuju Bandara Depati Amir, Pangkalpinang.
Pilot sempat meminta kembali ke landasan sesaat setelah lepas landas. Pilot juga sempat melapor ke ATC Bandara Soetta adanya masalah pada
flight control di ketinggian 1.700 kaki dan meminta naik ke ketinggian 5.000 kaki.
Presiden dan CEO Lion Air Group Edward Sirait mengakui kondisi pesawat Lion Air JT-610 sempat mengalami kendala teknis sebelum terbang. Namun ia mengklaim kondisi teknis yang tidak ia rinci itu sudah ditangani oleh pabrik pesawat.
"Ada laporan masalah teknis, tapi sudah dikerjakan sesuai porosedur
maintenance yang dikeluarkan pabrikan pesawat," kata Edward saat konferensi pers di Bandara Seokarno-Hatta, Cengkareng, Senin (29/10).
Sebelum melakukan penerbangan Jakarta-Pangkalpinang, Lion Air JT-610 terbang dari Denpasar ke Jakarta (Cengkareng).
Kerusakan bisa terjadi kapan saja
Dalam dunia penerbangan, permasalahan teknis berupa kerusakan atau hal lain bisa saja terjadi justru pada saat lepas landas.
Pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengatakan pesawat yang sudah diizinkan terbang oleh
engineer yang memiliki wewenang untuk merilis pesawat, bisa berlaku saat posisinya masih di darat.
"Kita di dunia penerbangan sudah mengenal itu. Saat di darat sudah diizinkan dan layak terbang, tapi begitu lepas landas kondisi berubah," kata Gerry.
Hal itu, kata dia, bisa juga berlaku pada tragedi jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 rute Jakarta-Pangkalpinang di perairan Karawang, Jawa Barat.
Menurut Gerry, masih terlalu dini menyimpulkan jika kecelakaan pesawat yang membawa penumpang 189 orang itu akibat lemahnya pengawasan pemerintah ataupun kelalaian pada maskapai Lion Air, atau pabrik pesawat. Kesimpulan adanya pihak yang bersalah bisa diketahui setelah hasil investigasi keluar.
Masalah teknis sebelum take off adalah biasa
Gerry menjelaskan permasalahan teknis umum terjadi pada seluruh pesawat baik dalam kondisi baru ataupun lama. Tak hanya pesawat, kendaraan lain seperti mobil juga kerap ditemukan permasalahan walaupun baru dikeluarkan dari pabrik. Hanya saja, kerusakan pada mobil bisa diantisipasi tanpa perlu dilakukan pendaratan darurat di darat seperti pesawat.
Bahkan menurut Gerry, tidak ada pesawat yang sempurna secara teknis saat akan lepas landas. Kata dia, kendala teknis biasanya akan dikerjakan oleh pihak pabrik pesawat sebelum kemudian diizinkan terbang.
"Kalau pesawat harus tunggu sempurna baru lepas landas bisa bangkrut itu seluruh maskapai, atau tiketnya mahal banget. Jadi masalah teknis sebelum
take off biasa, saat pabrik bilang boleh terbang mereka terbang," kata Gerry.
Lebih lanjut, Gerry juga mengaku sejauh ini pengawasan pemerintah juga sudah berjalan. Hal itu bisa terlihat dari dicabutnya larangan terbang seluruh maskapai penerbangan Indonesia oleh Komisi Keselamatan Penerbangan Uni Eropa, termasuk Lion Air.
Serpihan-serpihan kecelakaan Lion Air JT 610. Kredit : Reuters
Hal senada juga disampaikan pengamat penerbangan Alvin Lie. Menurut Alvin pemerintah sejauh ini sudah memiliki disiplin ketat terhadap maskapai penerbangan. Hal itu terlihat sepanjang tahun 2017 prestasi penerbangan di Indonesia sudah cukup bagus.
"Pejabat dan peraturan di pemerintahan sudah berubah. Jangan gunakan patokan masa lalu seperti Adam Air atau pesawat
low cost lainnya yang pernah jatuh. Kita tunggu hasil investigasi," kata Alvin.
Dia mengatakan, kesimpulan yang disampaikan Menteri Perhubungan Budi Karya atau Kepala Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono yang menyebut pesawat tidak meledak di udara juga tidak salah. Alvin menilai kesimpulan sementara itu terlihat dari serpihan pesawat yang terkonsentrasi.
"Saya juga sepakat tidak ada ledakan, kalau meledak di udara tubuh manusia ada yang terapung. Serpihannya juga terkonsentrasi," kata Alvin.
Kecepatan dan ketinggian tidak wajar
Alvin menjelaskan dilihat dari grafik kecepatan dan ketinggian pesawat sebelum hilang kontak sangat tidak wajar. Pesawat sempat terlihat menukik tajam dan kecepatan tidak stabil. Namun Alvin belum mau menyimpulkan terlalu dini.
"Bisa saja masalah teknis di balik ketidak wajaran, kecepatan naik tapi pesawat turun. Mungkin masalah turbulensi, atau nabrak benda di langit, belum bisa diambil kesimpulan," tutur Alvin.
Selain itu Alvin juga menilai ketidak wajaran jatuhnya Lion Air JT-610 terlihat dari posisi pesawat yang tidak sempat mengapung. Jika mesin pesawat mati, pesawat sebetulnya bisa mencapai permukaan air dengan mengapung dan terbawa arus. Jika seperti ini, maka prosedur penyelamatan darurat berupa penggunaan pelampung dan keluar lewat jendela darurat dilakukan.
Namun Alvin berasumsi pesawat terhempas dan pecah pada bagian belakang pesawat. Asumsinya juga dikuatkan dengan permintaan pilot yang meminta izin untuk kembali ke landasan atau
return to base (RTB).
Permintaan ini kata Alvin biasa dilakukan pilot saat ada kondisi yang tidak normal seperti roda yang tidak masuk, tekanan udara yang tidak normal, masalah kelistrikan atau hidrolis atau faktor teknis lainnya.
"Jadi ada kondisi gawat. Nanti perlu dicek lagi, pilot minta RTB atau
declare emergency," ujar Alvin.
Artikel yang berhubungan : Bila Peralatan Rusak, Bolehkah Pesawat Tetap Terbang ?
(DWK)
Tinggalkan Komentar