Aplikasi Smart Pakem Kejaksaan Tinggi DKI Picu Kontroversi

Kemala Putri . November 29, 2018
Teknologi.id - Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta meluncurkan aplikasi Smart Pakem untuk mengawasi aliran kepercayaan dan keagamaan yang dianggap "menyimpang". Namun, seperti dugaan awal, aplikasi tersebut memicu kontroversi di kalangan masyarakat. Dalam aplikasi yang bisa diunduh di Google Play Store dan Situs Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta itu ada enam fitur utama: keagamaan, kepercayaan, ormas, laporan masyarakat, undang-undang, dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Khusus di fitur keagamaan, kepercayaan, dan ormas, memuat informasi mengenai daftar, nama pimpinan, wilayah, jumlah pengikut, dan penjelasan detailnya. Sementara untuk fitur laporan, tersedia lampiran berupa data diri pelapor dan subjek laporan.

Tampilan aplikasi Smart Pakem yang diluncurkan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Kredit: Smart Pakem
Menurut Kasi Penkum Kejati DKI Nirwan Nawawi, aplikasi ini mempermudah warga memantau perkembangan aliran kepercayaan. "Menyikapi perkembangan terkait peluncuran aplikasi Smart Pakem, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Bahwa untuk mengatur pengawasan, khususnya aliran aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat, pemerintah memberikan kewenangan kepada kejaksaan melalui peraturan perundangan," ujar Nirwan, Senin (26/11/2018). Nirwan menjelaskan tujuan aplikasi Smart Pakem ialah: - Memberikan kemudahan akses pengetahuan tentang perkembangan aliran kepercayaan dan aliran keagamaan yang ada di Indonesia. - Mencerdaskan masyarakat untuk menghindari atau pencegahan terhadap doktrin seseorang/kelompok untuk mengikuti ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. - Terwujudnya kedamaian dan saling menghormati antarmasyarakat dan terciptanya kerukunan umat beragama.

Picu protes

Namun, hal itu ditanggapi berbeda oleh berbagai kalangan. Peluncuran aplikasi tersebut justru dianggap memicu konflik horizontal dan memberangus hak beragama dan memeluk kepercayaan tertentu sehingga diprotes beramai-ramai. Aplikasi itu dianggap hanya membuka celah terjadinya persekusi terhadap kelompok minoritas. Demikian kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara. Beka mengkhawatirkan adanya informasi atau lebih tepatnya vonis yang begitu terbuka soal sesat atau tidaknya suatu kelompok atau aliran. Di sisi lain, yang kerap terjadi memang kelompok mayoritas bertindak sesukanya, tanpa melewati prosedur hukum. "Nanti malah akan ada persekusi karena suatu aliran dikecam sesat," kata Beka Pada akhirnya, kata Beka, konflik horizontal akan mudah meluas, dan ini jelas beda dengan tujuan adanya negara itu sendiri, yaitu melindungi kelompok minoritas dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. Beka menganggap landasan pemikiran Kejati DKI Jakarta keliru sejak awal. Misalnya soal sesat atau tidaknya suatu aliran yang mengacu pada fatwa MUI. Penilaian suatu kepercayaan dianggap sesat atau tidak sifatnya sangat subjektif dan tak melibatkan kelompok yang dihakimi itu sendiri. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pun sepemikiran dengan Komnas HAM, aplikasi itu dianggap dapat memicu konflik di masyarakat. YLBHI meminta kejaksaan menghapus aplikasi tersebut. Dia menegaskan negara harus menjamin warganya memeluk agama dan kepercayaan. "Dengan kondisi seperti tersebut, adanya aplikasi ini justru akan memicu peningkatan konflik di antara masyarakat dan membuat kelompok atau individu penganut agama atau keyakinan yang dituduh sesat semakin rentan keselamatannya, baik jiwa maupun harta bendanya," tulis siaran pers YLBHI.

Protes internal pemerintah

Protes juga datang dari internal pemerintah. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh mengaitkan ini dengan dibolehkannya mencantumkan aliran kepercayaan di Kartu Tanda Penduduk. "Kami tidak menyebutkan nama aliran kepercayaannya. Di KTP hanya menuliskan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa," kata Zudan. "Kalau kepercayaan kepada Tuhan YME enggak ada yang sesat," tambahnya. Begitu pun dengan Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sri Hartini. Katanya, menilai ajaran sesat atau tidak bukan perkara gampang. Syaratnya harus melalui penelitian mendalam disertai pembuktian kuat. "Tergantung ajarannya seperti apa? Dikaji, dipelajari, apakah ajarannya merupakan sempalan dari agama? Belum terdaftar di Kemdikbud tidak berarti aliran sesat," kata Sri. (DWK)
author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar