Mahasiswa MIT & Harvard Drop Out karena Takut AI AGI: Ancaman Serius bagi Masa Depan?

Farsya Sabila . August 19, 2025
Foto: The Financial Express


Teknologi.id - Fenomena mahasiswa top dunia meninggalkan bangku kuliah demi kecerdasan buatan (AI) kini menjadi sorotan. Kekhawatiran terhadap Artificial General Intelligence (AGI) yang dinilai bisa mengubah tatanan kerja hingga mengancam eksistensi manusia, membuat sebagian mahasiswa lebih memilih meniti karier di luar kampus.

Baca juga: MIT Ciptakan Printer 3D AI yang Ubah Kulit Pisang Jadi Gelas dan Sendok

Alice Blair, Mahasiswa MIT yang Memilih Tinggalkan Kuliah

Alice Blair, mahasiswa Massachusetts Institute of Technology (MIT), memutuskan berhenti kuliah karena takut dengan perkembangan AI.

“Saya takut tidak sempat lulus karena AGI. Dalam banyak skenario, cara kita membangun AGI justru berujung pada kepunahan manusia,” ujar Blair, dikutip dari Forbes.

Padahal, pada 2023 Blair sempat penuh semangat masuk MIT untuk mendalami ilmu komputer. Namun, kini ia memilih cuti permanen dan bekerja sebagai Technical Writer di Center for AI Safety, lembaga nirlaba yang fokus pada penelitian keamanan AI. Blair menegaskan tidak akan kembali ke MIT.

“Saya yakin masa depan saya ada di luar kampus, di dunia nyata,” tambahnya.

Bukan Hanya MIT, Mahasiswa Harvard Juga Ikut Drop Out

Fenomena ini juga terjadi di Harvard University. Adam Kaufman, salah satu mahasiswanya, keluar untuk bekerja penuh waktu di Redwood Research, lembaga penelitian yang menyoroti bahaya sistem AI.

“Saya khawatir dengan risikonya. Hal terpenting adalah mencari cara untuk menguranginya. Selain itu, saya bisa bekerja dengan orang-orang paling cerdas pada persoalan penting,” ujar Kaufman.

Keputusan Kaufman bahkan diikuti saudara, teman sekamar, hingga kekasihnya, yang kini bergabung dengan OpenAI.

Survei Harvard: 50% Mahasiswa Cemas Karier Hilang karena AI

Kekhawatiran terhadap AI tidak hanya soal ancaman kepunahan manusia, tetapi juga pada hilangnya peluang karier.

Sebuah survei terhadap 326 mahasiswa Harvard mengungkapkan 50% responden takut prospek kerja mereka akan digantikan AI.

Nikola Jurković, mantan ketua divisi kesiapan AGI di klub keamanan AI Harvard, menilai kuliah bisa menjadi sia-sia jika lapangan kerja manusia digantikan otomatisasi. Faktanya, beberapa perusahaan kini mulai mengurangi magang dan rekrutmen karena posisi entry-level bisa diambil alih oleh AI.

CEO Teknologi Prediksi AGI Akan Menghapus Jutaan Pekerjaan

Kekhawatiran mahasiswa semakin kuat setelah beberapa tokoh besar teknologi ikut bersuara.

  • Dario Amodei (CEO Anthropic) memperkirakan separuh pekerjaan tingkat pemula bisa hilang karena AI, bahkan pengangguran bisa tembus 20% dalam beberapa tahun.

  • Sam Altman (CEO OpenAI) meyakini AGI akan hadir sebelum 2029.

  • Demis Hassabis (CEO Google DeepMind) memprediksi AGI muncul dalam 5–10 tahun.

  • Namun, ada juga pakar seperti Marcus yang meragukan prediksi tersebut. Menurutnya, klaim AGI 5 tahun lagi hanya strategi pemasaran, mengingat masalah seperti halusinasi AI belum terpecahkan.

Meski waktu kemunculan AGI masih diperdebatkan, banyak mahasiswa percaya itu akan terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan.

Dari Drop Out Jadi Founder Startup

Tak semua mahasiswa yang keluar kuliah karena AI memilih bekerja di lembaga penelitian. Sebagian justru membangun startup untuk mengejar peluang di tengah transformasi teknologi ini.

  • Michael Truell (24), CEO Anysphere, keluar dari MIT.

  • Brendan Foody (22), pendiri Mercor, meninggalkan Georgetown University.

  • Jared Mantell, eks mahasiswa Washington University, St. Louis, drop out untuk membangun dashCrystal, startup otomasi desain elektronik. Kini perusahaannya sudah mendapat pendanaan lebih dari 800 ribu dolar dengan valuasi 20 juta dolar.

Baca juga: Teknik Informatika vs Sistem Informasi: Perbedaan, Kurikulum, dan Prospek Kerja

Risiko Tinggalkan Bangku Kuliah

Meski terlihat menjanjikan, keputusan drop out juga punya konsekuensi besar.

Laporan Pew Research Center menyebutkan generasi muda bergelar sarjana rata-rata berpenghasilan 20 ribu dolar lebih tinggi dibanding mereka yang tidak punya gelar.

Bahkan, Paul Graham (co-founder Y Combinator) mengingatkan pentingnya menyelesaikan pendidikan. Melalui unggahan di X, ia menuliskan:

“Jangan berhenti kuliah hanya untuk memulai startup. Kesempatan membangun perusahaan akan selalu ada, tapi waktu kuliah tidak bisa diulang kembali.”

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.

(fs)

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar