Kenali Opini Palsu terhadap Saham-Saham Sektor Teknologi

Nurul Afifah . April 04, 2022


Foto: pxfuel


Teknologi id – Dengan kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS), saham-saham teknologi dunia ikut terkoreksi. Dengan situasi yang seperti ini menghasilkan dua pandangan kurang benar dalam memandang prospek saham sektor masa depan tersebut.


Saham teknologi yang semula menjadi idaman banyak orang dan merupakan mesin uang bagi pemodal ventura, mengalami kesusahan. Harga saham mereka tergerus sejak bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengurangi kebijakan moneter ekstra longgar.

Pengetatan Kebijakan Moneter The Fed 

Setelah sebelumnya pada masa pandemi mengalami kenaikan signifikan kini perlahan kinerja saham teknologi mulai turun. Pengetatan kebijakan moneter The Fed merupakan sinyal bahwa tidak ada lagi banjir dana di pasar modal yang menjadi sumber pendanaan obligasi emiten teknologi.


Baca juga: Cara Beli IPO Saham GoTo secara Online Tanpa Ribet

Dikutip dari CNBC Indonesia, Banyak perusahaan rintisan (startup) yang baru masuk bursa atau yang belum mencapai profitabilitas ikut terpukul. Perusahaan startup raksasa dunia kapitalisasi pasarnya justru terus menyusut setelah sebelumnya meraup dana fantastis tahun lalu.

BUKA

unicorn PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) salah satu contoh startup di Indonesia yang memegang rekor perolehan dana terbesar lewat penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) mencapai Rp 22 triliun. Setelah sempat di zona hijau pasca-listing, harganya kian tertekan hingga kapitalisasi pasarnya kini drop 50%.

COUPANG

Di Asia, e-commerce asal Korea Selatan yang disokong SoftBank, Coupang, mencetak IPO fantastis dan meraup US$ 4,6 miliar di bursa New York (NYSE). Ia menjadi perusahaan Asia yang meraih dana IPO terbesar kedua setelah Alibaba, dengan valuasi mencapai US$ 60 miliar.

Didi

Selanjutnya dari China ada Didi, perusahaan yang digadang-gadang merevolusi sektor transportasi di China. Meski meraup dana IPO hingga US$ 4,4 miliar dengan valuasi US$ 73 miliar, harganya jatuh bebas setelah pemerintah China menyoroti persoalan keamanan data.

Grab

Perusahaan Singapura yang beroperasi di Indonesia juga mengalami hal serupa. Grab yang tidak memilih jalur penawaran tradisional dan menggunakan perusahaan 'cek kosong' (SPAC), kinerja sahamnya juga mengecewakan.


Baca juga: GoTo IPO di BEI, ini Harga dan Jadwalnya, Tertarik Beli?

Lainnya

Selain itu tidak sedikit perusahaan besar asal AS yang kinerja sahamnya juga menurun, seperti Robinhood, emiten pemesanan catering online DoorDash dan emiten pergudangan berbasis komputasi awan Snowflake.


Hampir semua perusahaan startup yang melakukan IPO dalam 2 tahun terakhir juga turut menurun, dari Uber, Lyft, hingga WeWork sahamnya masih tercatat tumbuh negatif sejak pertama diperdagangkan publik.

Kenali Bursa Saham

Dengan penyimpulan gegabah dan secara bersamaan bersifat menggeneralisir banyak opini buruk tentang bursa saham. 


Pertama, pahami bahwa kinerja negatif di bursa saham menimpa nyaris semua sektor bukan hanya di sektor teknologi. Pun jika kita bicara saham di sektor teknologi, tak semuanya tertekan. Dua poin ini sering di salah pahami. 


Contohnya seperti bursa AS (Wall Street), yang sejauh ini merekam hanya tiga dari 11 sektor saham yang berkinerja positif, yakni sektor energi, utilitas, dan keuangan. Sepanjang 2022, indeks saham sektor energi naik 38%, indeks sektor utilitas lompat 2,3% dan sektor keuangan tumbuh 1%.


Saham energi dan utilitas melonjak akibat kenaikan harga komoditas batu bara dan minyak (akibat konflik Rusia-Ukraina). Sebagai catatan, Rusia adalah negara produsen minyak mentah terbesar ketiga dunia setelah AS dan Arab Saudi.


Di sisi lain, saham sektor perbankan menguat karena tidak terlalu terkena dampak negatif kenaikan suku bunga acuan The Fed (Fed Funds Rate/FFR), sekalipun bank-bank raksasa telah menyampaikan prospek kinerja yang kurang menarik dalam rilis proyeksi keuangan (earnings call) belum lama ini.

Saham Sektor Teknologi di Indonesia

Seperti layaknya Airbnb yang layanannya unik, GoTo memiliki value yang tak dimiliki perusahaan lain yakni ekosistem lengkap: e-commerce, pemesanan layanan digital segala rupa (on-demand services) dan jasa keuangan.


Di Indonesia, IPO GOTO menjadi momentum penguatan saham teknologi, seperti terlihat dari unicorn pertama yang tercatat di bursa Tanah Air, yakni BUKA. Meski sepanjang tahun berjalan masih terhitung minus 20%, saham perseroan melesat 11,61% sepanjang pekan ini di Rp 346/saham per 29 Maret.

Baca juga: Trend Lepas Saham Ke Publik, Perusahaan Raup Dana Miliaran

Dalam riset "Underappreciated by Investors: Keep Buy", PT RHB Sekuritas Indonesia menilai pelaku pasar belum menangkap nilai positif saham BUKA pasca-sinergi dengan memiliki 11,49% saham PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI).


"Investasi ini bermanfaat bagi BUKA karena membantu membuka nilai yang bisa diraih dari berbagai ekosistem [di Allo Bank] serta memperkuat kemampuan pembiayaannya," ujar analis RHB Sekuritas Indonesia Shelly Setiadi, dalam riset yang dirilis Selasa (29/3/2022).


Perusahaan sekuritas asal Malaysia tersebut pun merekomendasikan beli saham BUKA dengan target harga Rp 900/saham, yang mencerminkan potensi penguatan sebesar 160% dalam 12 bulan ke depan.


Tak hanya BUKA, saham emiten teknologi lainnya seperti PT Galva Technologies Tbk (GLVA) sepekan menguat 6,30% di Rp 270 dan PT Zyrexindo Mandiri Buana Tbk (ZYRX) naik 2,7% di Rp 565, dan PT Kioson Komersial Indonesia Tbk (KIOS) naik 2,37% di Rp 432/saham, per penutupan pasar 29 Maret.


(na)


author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar