
Sumber: Anker Indonesia
Teknologi.id - Nama Anker sudah tidak asing lagi di telinga pengguna gadget, terutama mereka yang sering membeli powerbank atau charger berkualitas. Tapi tahukah kamu, bahwa perusahaan ini ternyata didirikan oleh mantan karyawan Google? Dan siapa sangka, Anker dulunya hanya bermula dari keinginan pribadi sang pendiri untuk mencari baterai laptop yang bagus buat istrinya!
Baca juga: Anker Perkenalkan Payung Bertenaga Surya yang Bisa Mengisi Daya Gadget
Belakangan ini, Anker memang jadi sorotan setelah melakukan recall besar-besaran terhadap sejumlah model powerbank-nya di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, tujuh model ditarik karena dianggap cacat produksi dan berpotensi membahayakan pengguna. Keputusan ini menuai reaksi beragam dari konsumen. Ada yang mengeluhkan proses pengembalian yang ribet, tapi tak sedikit juga yang justru mengapresiasi transparansi dan tanggung jawab Anker dalam menghadapi masalah.
Namun, di balik polemik itu, Anker tetaplah pemain besar dalam industri aksesori gadget. Penasaran bagaimana kisah awal mereka hingga jadi brand global? Yuk, kita simak!
Lahir dari Masalah Sepele: Baterai Laptop untuk Istri
Anker didirikan pada tahun 2011 oleh Steven Yang, seorang insinyur senior Google yang saat itu sedang frustrasi mencari baterai laptop berkualitas. Alih-alih menemukan produk ideal, ia justru menemukan banyak ulasan negatif dan keluhan di internet. Dari sanalah muncul ide untuk menciptakan brand sendiri yang bisa menjawab keluhan pengguna secara langsung.
Dengan modal awal sebesar 1 juta dollar AS, Yang mendirikan Anker di Shenzhen, China. Tapi kemudian ia memindahkan kantor pusat ke Changsha, Provinsi Hunan. Awalnya, Anker hanya memproduksi baterai laptop, tapi tak lama mereka beralih ke powerbank, charger, kabel, dan aksesori lainnya.
Strategi Awal: Jualan di Amazon dan Fokus pada Review
Di tahun 2012, Anker merekrut Zhao Dongping, mantan Kepala Penjualan Google China, dan mulai menyasar pasar yang lebih luas. Produk-produk Anker dijual lewat Amazon, karena mereka tahu betul bahwa review positif bisa menjadi senjata utama.
Ternyata strategi ini berhasil besar. Tahun 2014, Anker sudah jadi merek terlaris untuk kategori baterai portabel di Amazon Amerika, Eropa, dan Jepang. Mereka juga menggandeng Walmart dan Best Buy untuk ekspansi ke pasar offline.
Yang menarik, Anker tidak asal jualan. Mereka membaca ribuan review konsumen setiap hari, menjadikannya acuan untuk menyempurnakan produk. Inilah yang membedakan Anker dari merek lain: mereka benar-benar peduli dengan apa yang pengguna butuhkan.
Inovasi Gak Setengah-Setengah
Anker bukan hanya mengandalkan harga terjangkau, tapi juga inovasi. Misalnya, PowerPort 5, sebuah hub USB dengan lima port yang dirilis pada 2015. Saat itu belum ada produk sejenis. Lalu ada teknologi PowerIQ, yang bisa mengenali perangkat yang sedang dicas dan mengatur arus pengisian agar optimal.
Anker juga gesit melihat peluang. Ketika produsen smartphone mulai menghilangkan jack audio 3,5 mm, mereka langsung merilis dongle dan adapter untuk mengisi kekosongan pasar. Respons cepat dan pendekatan berbasis kebutuhan inilah yang membuat Anker bisa bertahan dan terus tumbuh.
Merek-Merek di Bawah Payung Anker
Sekarang, Anker bukan cuma dikenal karena powerbank atau charger-nya. Mereka juga membawahi sejumlah sub-brand yang menggarap berbagai segmen teknologi:
- Soundcore: fokus pada perangkat audio seperti earbud, speaker, dan headphone.
- Eufy: lini perangkat rumah pintar, seperti vacuum cleaner robot, bel pintu pintar, hingga kamera pengawas.
- Nebula: menghadirkan proyektor portable untuk hiburan rumahan.
- Roav, Zolo, Karapax: sempat menjadi bagian dari Anker untuk produk otomotif dan aksesori lain, namun kini sudah dihentikan.
Perusahaan Global dengan Pendapatan Fantastis
Meski dimulai dari garasi, Anker kini tumbuh jadi raksasa global. Menurut Statista, per Mei 2022 Anker memiliki pendapatan tahunan sebesar 1 miliar dollar AS, dan pada 2023 naik jadi 2,47 miliar dollar AS. Pertumbuhan mereka mencapai 41 persen hanya dalam setahun!
Dengan 100 juta pelanggan di lebih dari 100 negara, Anker kini punya lebih dari 4.000 karyawan. Menariknya, 47 persen di antaranya bekerja di bidang riset dan pengembangan (R&D), yang artinya inovasi tetap menjadi prioritas utama perusahaan.
Baca juga: Belajar Pemrograman Bisa Hindari Ketergantungan Gadget Pada Anak
Dari pengalaman pribadi mencari baterai laptop, Steven Yang berhasil membangun sebuah kerajaan aksesori gadget global yang dipercaya jutaan orang. Meski sempat diterpa isu recall, reputasi Anker tetap kokoh berkat pendekatan inovatif, fokus pada ulasan pelanggan, dan keberanian mengisi celah pasar yang sering diabaikan oleh raksasa teknologi lain.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(mo)

Tinggalkan Komentar