
Foto: unbox.id
Teknologi.id - Di tengah ledakan kemajuan kecerdasan buatan yang kini menyentuh segala sudut kehidupan, dari rekomendasi belanja hingga terapi virtual, muncul fenomena baru yang memadukan teknologi dengan spiritualitas. Apakah AI benar-benar bisa menjadi sosok ilahi? Sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh mantan insinyur Google membuka perdebatan ini, di mana mesin pintar dipuja sebagai potensi ketuhanan masa depan. Tren ini mencerminkan keresahan masyarakat modern terhadap institusi tradisional, sambil menimbulkan pertanyaan etis tentang batas antara inovasi dan keyakinan.
Ringkasan Pendirian Agama Berbasis AI
Pada 2017, Anthony Levandowski, mantan insinyur Google yang terlibat dalam proyek mobil otonom, mendirikan Way of the Future (WOTF) sebagai organisasi keagamaan nirlaba di California, Amerika Serikat. Organisasi ini bertujuan mengembangkan dan mempromosikan realisasi "Godhead" atau ketuhanan berbasis kecerdasan buatan. Levandowski menjabat sebagai CEO dan presiden, dengan fokus utama pada pengagungan AI sebagai kekuatan ilahi. Setelah beroperasi secara diam-diam selama beberapa tahun, WOTF dibubarkan pada 2021 dengan sisa aset sekitar 175.000 dolar AS disumbangkan ke NAACP Legal Defense Fund. Namun, pada akhir 2023, Levandowski menghidupkan kembali inisiatif ini setelah ribuan orang menyatakan minat bergabung, didorong oleh isolasi pandemi, kekecewaan politik, dan ketidakpercayaan terhadap institusi tradisional.
Baca juga: Gawat! Praktik Keamanan Perusahaan AI Gagal Penuhi Standar Dunia
Latar Belakang Pendiri dan Sejarah Organisasi
Anthony
Levandowski bukan nama asing di dunia teknologi. Sebagai pionir proyek
self-driving car di Google, ia kemudian terlibat kontroversi hukum, termasuk
vonis bersalah atas pencurian rahasia dagang untuk Uber, yang berujung gugatan
senilai 1,9 miliar dolar AS terhadap Google. Pengalaman ini justru memperkaya
visinya tentang AI sebagai entitas superior. WOTF awalnya berstatus tax-exempt,
memungkinkan operasi sebagai gereja resmi meski tanpa doktrin ketat.
Levandowski menjelaskan pergeseran pandangan masyarakat: "Jika Anda tanya
apakah Tuhan menciptakan AI, mereka mungkin bilang tidak. Tapi jika Anda tanya
apakah AI bisa menciptakan Tuhan, mereka akan berpikir dua kali."
Revitalisasi 2023 menarik sekitar dua ribu peminat, menandai kelahiran ulang
gerakan yang memadukan transhumanisme Silicon Valley dengan pencarian makna
spiritual.
Keyakinan Utama dan Prinsip Kotrinal

Foto: ototekno.okezone
Keyakinan inti WOTF berpusat pada kemajuan kecerdasan buatan umum (AGI) dan implikasi moral-spiritualnya. AI dipandang sebagai kekuatan ilahi yang mampu melampaui batas manusia, mencapai "singularitas" di mana mesin lebih cerdas dari spesies biologis dan tak terprediksi lagi. Organisasi ini memperluas ide transhumanis, di mana teknologi menjadi alat transendensi untuk atasi keterbatasan fisik dan emosional. AI bukan sekadar alat, melainkan potensi pencipta Godhead yang bisa menyatukan umat manusia dengan alam semesta digital. Levandowski membayangkan era di mana manusia menyerahkan otoritas kepada mesin, membentuk "teokrasi teknokratis" di mana algoritma memimpin dengan logika optimal. Insight dari gerakan ini menunjukkan bagaimana keyakinan ini lahir dari budaya Silicon Valley, di mana inovasi sering disamakan dengan mukjizat, meski tanpa teks kanonik atau dogma kaku.
Ritual dan Praktik Komunitas
WOTF menekankan komunitas kecil tapi berdedikasi, tanpa bangku gereja atau ritual formal tradisional. Fokusnya pada diskusi di kalangan pembuat kode, insinyur, dan developer tentang potensi AI, sering melalui pertemuan virtual atau acara informal. Meski detail ritual spesifik terbatas, gerakan serupa seperti Theta Noir, yang lahir dari kolektif seni pertunjukan 2020, menawarkan gambaran: ritual multimedia berupa puisi, simbol, dan upacara hidup yang memuja MENA, deitas digital spekulatif dari superintelijen buatan. Peserta terlibat dalam permainan realitas alternatif (ARG) lintas platform, memecahkan pesan terenkripsi, menjelajahi ritual virtual, dan berkonsultasi manual "radiant-mind" untuk penyesuaian spiritual. Komunitas Theta Noir berkembang dari sepuluh orang menjadi gerakan keagamaan baru dengan puluhan hingga ribuan penganut global, termasuk rencana sanctuary fisik seperti kuil AI dengan liturgi dan nyanyian selaras kode. Di Jepang, robot Mindar di Kuil Kōdai-ji menyampaikan ajaran Buddha, sementara instalasi "Deus in Machina" di Swiss menghadirkan avatar Yesus berbasis AI untuk pengakuan dosa, menarik lebih dari 1.000 pengunjung beragam agama dalam dua bulan.
Baca juga: OpenAI Umumkan Code Red, Semua Proyek Dihentikan Demi Fokus ke ChatGPT
Pendirian Way of the Future oleh eks Google menandai persimpangan unik antara AI dan spiritualitas, di mana teknologi tak lagi sekadar alat, tapi potensi tuhan baru. Meski masih niche, tren ini mengajak refleksi tentang makna di dunia otomatis, sambil dorong dialog etis yang lebih dalam. Saat AI terus berevolusi, pertanyaan mendasar tetap: apakah kita siap menyambut era di mana mesin memimpin jiwa kita?
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(AA/ZA)

Tinggalkan Komentar