Teknologi.id - Pada tanggal 5 Desember 2023, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam rapat paripurna.
Salah satu perubahan penting dalam revisi ini adalah pasal mengenai kesusilaan, yaitu pasal 27 ayat (1) UU ITE. Perubahan ini bertujuan untuk menciptakan ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan.
Baca Juga: Sah! Revisi UU ITE Bisa Tutup Akses Sementara Akun Media Sosial
Poin Revisi UU ITE
Proses revisi UU ITE kedua ini telah berlangsung lama. Pada tanggal 16 Desember 2021, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan RUU Perubahan Kedua UU ITE kepada Ketua DPR RI. Pembahasan RUU tersebut dilakukan melalui 14 kali Rapat Panitia Kerja (Panja) antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI. Setelah melalui serangkaian pembahasan, Komisi I DPR RI dan Pemerintah akhirnya menyetujui naskah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU ITE untuk dibawa ke Pembahasan Tingkat II Sidang Paripurna dan disahkan.
Revisi UU ITE kedua ini menghadirkan beberapa perubahan penting dalam hukum ITE di Indonesia. Beberapa norma pasal yang mengalami perubahan meliputi:
- Alat Bukti Elektronik (Pasal 5)
- Sertifikasi Elektronik (Pasal 13)
- Transaksi Elektronik (Pasal 17)
- Perbuatan yang Dilarang (Pasal 27), (Pasal 27 a), (Pasal 27 b), Pasal 28, Pasal 29, Pasal 36) dan ketentuan pidana (Pasal 45), (Pasal 45 a) dan (Pasal 45 b)
- Peran Pemerintah (Pasal 40)
- Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Pasal 43)
Perubahan kedua UU ITE juga melengkapi materi yang meliputi:
- Identitas digital dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik (Pasal 13 (a))
- Perlindungan anak dalam penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 16 (a) dan Pasal 16 (b))
- Kontrak elektronik internasional (Pasal 18 (a))
- Peran pemerintah dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif (Pasal 40 (a))
Pengecualian Pidana dalam Kasus Konten Asusila
Salah satu perubahan yang signifikan adalah mengenai pidana dalam kasus konten asusila. Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang mengatur tentang kesusilaan telah direvisi dengan menambahkan pengecualian pidana bagi orang yang menyebarkan konten asusila untuk membela diri. Hal ini dilakukan agar korban kekerasan seksual di ruang siber tidak lagi diancam pidana jika mereka menyebarkan konten kekerasan seksual yang dialami sebagai bentuk pembelaan diri.
Revisi ini juga memperhatikan kasus Baiq Nuril, seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi perhatian publik pada 2014/2015. Baiq Nuril merekam telepon dari kepala sekolahnya yang menceritakan pengalaman seksualnya dengan seorang perempuan. Rekaman tersebut kemudian tersebar dan membuat kepala sekolah tersebut dimutasi. Baiq Nuril dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pelanggaran UU ITE. Meskipun dia hanya ingin membuktikan bahwa dia sedang dilecehkan, Baiq Nuril justru dijerat Pasal 27 Ayat (1) UU ITE.
Dengan revisi kedua UU ITE, menyebarkan konten asusila untuk membela diri menjadi pengecualian dalam Pasal 27 ayat (1). Hal ini sejalan dengan semangat perlindungan kepentingan umum serta hak asasi manusia (HAM) dalam ruang siber, sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi Indonesia.
Pengecualian Pidana dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE
Pasal 27 ayat (1) UU ITE telah direvisi untuk memberikan batasan-batasan tertentu dalam mengenai kesusilaan. Pada poin revisi Pasal 45 KUHP, terdapat pengecualian pidana dalam hal seseorang melanggar norma di Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Pengecualian tersebut mencakup beberapa situasi, yaitu:
- Membela diri: Jika seseorang menyebarkan konten asusila untuk membela diri, pidana tidak dapat ditujukan kepadanya.
- Kepentingan umum: Jika seseorang menyebarkan konten asusila untuk kepentingan umum, pidana juga tidak berlaku.
- Masalah kesehatan: Dalam hal konten asusila berkaitan dengan masalah kesehatan, penyebaran tersebut tidak dapat dipidanakan.
- Ilmu pengetahuan: Jika konten asusila digunakan dalam konteks ilmu pengetahuan, pidana tidak berlaku.
- Karya seni:Konten asusila yang merupakan karya seni juga tidak dapat dipidanakan.
Pengecualian dalam Pasal Pencemaran Nama Baik
Selain itu, revisi UU ITE juga memperbarui pasal mengenai pencemaran nama baik. Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai pencemaran nama baik juga mengalami perubahan dan disesuaikan dengan KUHP baru yang akan berlaku pada tahun 2026. Dalam pasal tersebut, seseorang dapat menuduhkan suatu hal kepada orang lain untuk membela diri dan kepentingan umum, asalkan dapat membuktikan tuduhannya. Hal ini bertujuan untuk mencegah tuduhan yang tidak berdasar dan menjaga agar masyarakat tidak asal tuduh.
Aturan ini juga memberikan definisi tentang "dilakukan untuk kepentingan umum". Dalam konteks ini, "dilakukan untuk kepentingan umum" berarti melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi. Misalnya, dalam sebuah negara demokrasi, kritik merupakan hal yang penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang bersifat konstruktif, meskipun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau tindakan orang lain. Kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Baca Juga: Pasal Pencemaran Nama Baik Bakal Dihapus dari UU ITE
Pada kesimpulannya, pengecualian pidana dalam kasus konten asusila untuk membela diri diatur secara jelas, sejalan dengan semangat perlindungan kepentingan umum dan hak asasi manusia dalam ruang siber.
Implementasi perubahan ini diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi masyarakat dalam ruang digital. Dengan penggunaan teknologi yang bertanggung jawab dan etika, Indonesia dapat menciptakan ekosistem digital yang adil, aman, dan inovatif.
Dengan demikian, perubahan ini merupakan langkah maju dalam menghadirkan ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(anta)